* Revolusi Sosial Maret 1946
Melahirkan Kabupaten Tanah Karo
Oleh: Drs. Tridah Bangun
Sebelum diuraikan
beberapa catatan sejarah Pemerintahan Karo dimasa penjajahan Belanda,
1907-1942, zaman Jepang, 1942-1945, NRI, 1945-1949 NST 1948-1950 RIS 1950 dan
NKRI, 1950 hingga saat ini (2003), ada baiknya lebih dulu disebutkan nama para
pejabat kepala Pemerintahan Kabupaten Karo sejak Indonesia merdeka 1945 sampai
saat ini, 2003. Demikian pula dengan ibu-ibu negeri Kabupaten
tersebut selama masa tersebut.
Menurut berbagai sumber yang
dikumpulkan baik wawancara dengan orang-orang yang cukup tinggi otoritasnya,
maupun dari buku AR Surbakti: “Perang kemerdekaan di Karo Area” Jilid I-II;
Catatan Pertempuran dan Peristiwa lain Karo Area”, buku riwayat hidup Selamat
Ginting: “Kilap Sumagan”, 1994, adapun pejabat nomor 1 di Tanah Karo yang
kemudian dinamakan Kabupaten Karo adalah sebagai berikut.
1. Sebayak Ngerajai Meliala yang berkedudukan
sebagai Raja Urung XVII Kuta di Sarinembah, oleh pemerintah militer Jepang pada
tanggal 15 Juni 1945 diangkat sebagai Fuku Bushutyo Tanah Karo, selaku
koordinator kerajaan-kerajaan pribumi di daerah itu. Jabatan
itu dipegangnya sampai tanggal 4 Oktober 1945. Pada
hari itu juga kedudukannya sebagai Fuko Bushutyo berganti menjadi Wakil
Pemerintahan Negara Republik Indonesia Di Tanah Karo, pada saat itu dengan
resmi diumumkan di Kabanjahe bahwa Indonesia sudah merdeka.
Jabatan sebagai wakil Pemerintahan NRI di daerah itu dipegangnya sampai
meletusnya Revolusi Sosial Maret 1946 di Tanah Karo, dimana beliau termasuk
yang ditahan lalu diasingkan ke Tanah Alas dan pada tanggal 8 Maret 1946 jam
16:45 dilakukan penghapusan daerah/pemerintahan swapraja pribumi, sesuai
kehendak rakyat.
2. Mayor Mohamad Kasim diangkat
sebagai Pejabat kepala Pemerintahan sementara Tanah Karo, oleh Panglima Divisi
TKR Sumatera Timur Kolonel Achmad Tahir. Pengangkatan
itu sebagai akibat Revolusi Sosial, karena kevakuman Kepala Pemerintahan
(Ngarajai Meliala ditahan di Tanah Alas). Jabatan itu dipangku Mayor
Mohamad Kasim cukup singkat kurang dari satu bulan
3. Rakutta Sembiring Berahmana
4. Abdulah Eteng
5. Baja Purba
6. Matang Sitepu (Kapten-Mayor)
7. Baharudin Siregar
8. Tampak Sebayang (Mayor-Letnan Kolonel)
9. Drs. Rukun Sembiring
10. Ir. Meneth Ginting
11. Drs. Rupai Perangin-angin
12. Drs. D.D. Sinulingga (Kolonel)
13. Sinar Perangin-angin
14. Drs. D.D. Sinulingga (Kolonel)
15. DR.HC.Kena Ukur Surbakti
Adapun ibu negeri atau tempat
berkantor kepala Pemerintahan Karo (Kabupaten Karo) sejak Indonesia merdeka
1945 hingga seakrang ini (2003), menurut sumber yang dikumpulkan sebagai
berikut:
1. Kabanjahe, 1945 – 31 Juli 1947
2. Tigabinanga, 31 Juli 1947 – 25 Nopember 1947
3. Lau Baleng, 25 Nopember 1947 – 7 Pebruari 1948
4. Kutacane, 7 Pebruari 1947 – 14 Agustus 1949
5. Tiganderket, 14 Agustus 1949 – 17 Agustus 1950
6. Kabanjahe, 17 Agustus 1950 hingga sekarang.
Kerajaan/Landschaap
Di zaman penjajahan Belanda di
dataran tinggi Tanah Karo, maka oleh pemerintah jajahan, wilayah Simelungun dan
Tanah Karo dimaksukkan dalam administrasi Simelungun en Karo landen, dipimpin
oleh Asisten Residen orang Belanda. Ibu Negerinya adalah
Pematang Siantar. Administrasi Simelungun en Karo
Landen yang merupakan satu afdeling adalah bagian dari Kresiden Sumatera Timur
dengan ibu negerinya Medan.
Disamping administrasi seperti
itu, maka oleh pemerintahan jajan masih diperkenankan adanya pemerintahan
swaparja pribumi di Kresidenan Sumatera Timur seperti Kesultanan dan
Ke-Sibayakan/landschaap, Pemerintah Swapraja pribumi ini merupakan alat
perpanjangan tangan dari pemerintahan jajahan Belanda menguasai penduduk pribumi,
dalam berbagai aspek keperluan penjajah.
Wilayah
administrasi afdeling Simelungun en Karo Landen dibagi lagi menjadi
onderafdeling, masing-masing Ondcrafdeling Simelungun dan Onderafdeling Karo
Landen. Masing-masing dari Onderafdeling itu dipimpin oleh Controleur
(Kontlir = Pengawas) orang Belanda berkedudukan di Pematang Siantar dan
Kabanjahe.
Di daerah
administrasi Onderafdeling Karo Landen yang dipimpin seorang kontlir Belanda,
terdapat pemerintahan swaparaja pribumi tingkat kerajaan/Landschaap yang
dipimpin oleh Sibayak dan Kerajaan Urung yang dipimpin oleh Raja Urung.
Pemerintahan swaparaja prubimi
Landschaap yang dikepalai oleh Sebayak di Tanah Karo terdiri dari 5 Kerajaan
dengan 18 Kerajaan Urung yang merupakan pemerintahan prubimi bawahan atau bagian
dari Kerajaan/Landschaap (Ke-Sibayaken).
Adapun pemerintahan swaparaja
pribumi/Landschaap yang dikepalai Sibayak adalah sebagai berikut;
1. Landschaap Lingga
berkedudukan di Lingga kemudian ke Kabanjahe, membawahi 6 kerajaan urung.
2. Landschaap Sarinembah
berkedudukan di Sarinembah, 4 kerajaan urung.
3. Landschaap Barusjahe
berkedudukan di Barusjahe, 2 kerajaan urung.
4. Landschaap Suka berkedudukan
di Suka, 4 kerajaan urung.
5. Landschaap Kutabuluh
berkedudukan di Kutabuluh, 2 kerajaan urung.
Setiap
kerajaan/landschaap tersebut diatas membawahi pula kerajaan Urung yang dipimpin
oleh Raja Urung. Demikian pula kerajaan Urung
membawahi kampung-kampung yang dikepalai oleh Pengulu Kesain.
Zaman Pendudukan Jepang
Di zaman pendudukan militer
Jepang di wilayah onderafdeling Karo Landen, 1942-1945, sistem pemerintahan
swapraja pribumi seperti Landschaap/Sibayak dan kerajaan Urung terus sampai ke
Penghuluan Kesain, tetap sama dengan zaman penjajahan
Belanda. Yang berganti, adalah kalau di zaman penjajahan Belanda disamping
pemerintahan swapraja pribumi ada administrasi pemerintahan dipegang oleh
Controleur/Kontlir orang Belanda, sebagai pemegang pemerintahan dan kedaulatan
atas pemerintahan swapraja pribumi, di zaman Jepang itu posisi Kontlir
digantikan pemerintahan militer, yang untuk Karo Landen dikepalai pejabat
militer dengan nama Gunseibu (Bunsyutyo) berkedudukan di Brastagi, bukan
Kabanjahe.
Guna
memenuhi kebutuhan pemerintahan militer Jepang di Tanah Karo dan keperluan
perang Dai Toanya, Gunseibu/Bunsyutyo mengeluarkan perintah atau instruksi
kepada para Sibayak, meneruskannya lagi kepada para Raja Urung di daerah
kekuasaannya masing-masing. Para Raja Urung meneruskan
pula kepada para Penghulu Kesain di tiap kampung/desa di wilayah kekuasaannya.
Para penghulu inilah yang memerintahkan apa saja yang diinstruksikan itu kepada para anggauta
masyarakat/penduduk untuk dilaksanakan/dikerjakan.
Beberapa diantara kebutuhan
pemerintahan militer Jepang di Tanah Karo selama ia
menduduki daerah itu, 1942-1945, antara lain dapat disebut berikut:
1. Pengumpulan keperluan pangan/padi dari
penduduk;
2. Pengumpulan sayur-sayuran melalui unit-unit
distribusi disetiap desa dengan harga amat murah, malah kalau perlu dibon saja;
3. Mengambil paksa dengan harga sangat murah
hewan peliharaan penduduk seperti ternak babi, ayam, kuda dan lain-lain;
4. Pengrekrutan anggota masyarakat terutama
pemuda untuk diseleksi menjadi anggota Sukarela Gyngun, Heiho, guru sekolah. Juga latihan massal kepada penduduk untuk bersiap menghadapi sekutu
Inggris-Amerika (Belanda tidak masuk dalam hitungan mereka) seperti juga
menjadi anggota Keibodan (Kepolisian). Talapeta dan
Kyodo Buedan.
5. Pengambilan seseorang menjadi tenaga kerja
paksa/Romusa, berdasar instruksi pemerintah militer Jepang, dilakukan oleh para
Penghulu Kesain disuatu kampung.
Ketika itu
anggota Romusha dari Tanah Karo dikirim ke Tanjung Tiram membuat garam. Siapa saja yang menjadi anggauta Romusha, sekembalinya dari Tanjung
Tiram, badannya persis seperti tengkorak hidupo dengan pipi gemuk kena penyakit
biri-biri (penulis saksikan sendiri terhadap anggauta Romusha dari kampung
Batukarang).
Disebabkan pemerintahan
militer Jepang sangat keras apalagi disertai institusi Kempetai (polisi
militer) yang luar biasa kejamnya terhadap siapa saja, baik kepada penduduk
demikian juga kepada aparatur pemerintahan swapraja entah Sibayak, Raja Urung
atau Penghulu, dapat dikatakan roda pemerintahan militer Jepang lancar. Sebab siapa yang mencoba mengelak dari kebijakan Jepang, pasti
Kempetai bertindak habis-habisan. Contohnya dapat
dikemukakan antara lain/adalah terhadap Raja Urung Lima Senima Boncar Bangun
dan terhadap para tukang sihir, tukang racun (peraji-aji).
Raja Urung
Lima Senina Boncar Bangun, yang menurut laporan bersalah ditahan, lalu disiksa
habis-habisan di Kabanjahe, oleh Kempetai Jepang. Diayun,
dipukul karet, dipompa dengan air perutnya melalui mulut, lalu diinjak-injak
dan lain sebagainya. Menyebabkan Raja Urung yang sudah
tua/uzur, meninggal dalam siksaan Kempetai Jepang tahun 1944. Para tukang
sihir, tukang racun dan pencuri kakap, ditangkapi oleh Kempetai Jepang.
Juga disiksa habis-habisan antara lain juga dalam
bentuk hukum jari dan kaki dicabuti dengan kekaktua, rokok menyala dimasukkan
ke dalam lubang hidung, badan disayat sedikit-sedikit lalu dituang dengan air
jeruk dan garam. Para penderita pasti menggelapar, lemas tak sadarkan diri, malah ada
yang mati begitu saja.
Dengan cara
kebijaksanaan seperti itu, tujuan pemerintah militer Jepang untuk membuat
“normal” Tanah Karo, berhasil.
Zaman Kemerdekaan
Peristiwa
yang cukup penting terjadi di zaman pendudukan pemerintahan militer Jepang di
Tanah Karo, adalah pembentukan dewan perwakilan rakyat Kresidenan Sumatera
Timur di awal tahun 1945. Walaupun dewan ini yang
disebut dengan istilah/nama Syu Sangi Kai dimaksudkan Jepang untuk mendapatkan
masukan dari pemuka masyarakat bagi pemerintahan militer Jepang. Disisi lain oleh para pemimpin Indonesia Dewan ini dijadikan
sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam rangka perjuangan kita mencapai kebebasan/merdeka
dikemudian hari.
Dari Tanah
Karo yang ditunjuk sebagai anggota Syu Sangi Kai Kresidenan Sumatera Timur
adalah Djaga Bukit dan Ngeradjai Meliala. Dewan ini
sempat bersidang beberapa kali di Medan
sebelum Jepang mengaku takluk/menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945.
Selain itu mungkin berdasar
pertimbangan tertentu, Pemerintahan militer Jepang di Tanah Karo, pada tanggal
15 Juni 1945 mengangkat Ngerajai Meliala sebagai koordinator pemerintahan
kerajaan-kerajaan pribumi di Tanah Karo. Dengan posisi
seperti itu, maka Ngerajai Meliala “membawahi” langsung pemerintahan swapraja
pribumi Sibayak/Landschaap dalam berurusan dengan pemerintahan militer Jepang
di Tanah Karo.
Menurut buku AR Surbakti:
Perang kemerdekaan, 1979, alasan pemilihan Ngerajai Meliala, adalah karena
beliaulah diantara para Raja di Tanah Karo, yang tertinggi pendidikannya dalam
bidang pemerintahan. Dia mengecap pendidikan sekolah pemerintahan di Magelang
pada waktu zaman penjajahan Belanda dan setelah lulus dari sekolah pemerintahan
itu ia lebih dulu sebagai pegawai di kantor Asisten
Residen Afdeling Simelungun en Karo Landen di Pematang Siantar. Setelah bekerja belasan bulan maka tahun 1937 belaian dinobatkan
sebagai Raja Urung XVII Kuta berkedudukan di Sarinembah.
Revolusi Sosial Maret 1946 Di Tanah Karo
Jabatan
sebagai kepala pemerintahan untuk Tanah Karo, terus berlanjut setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan, dimana masih tetap berlaku sistem pemerintahan
swapraja pribumi dengan tetap berfungsinya jabatan Sibayak. Raja Urung dan Penghulu Kuta/Kesain ditiap kampung.
Posisinya
sebagai kepala pemerintahan untuk Tanah Karo itu baru berakhir setelah terjadi
revolusi sosial di Tanah Karo, Maret 1946. Sebab sebagai follow up dari
revolusi sosial itu, berakhirnya sistem pemerintahan swapraja/kerajaan seperti
Landschaap, Kerajaan Urung dan Kepenghuluan yang dipimpin terus menerus secara
turun menurun. Sistem yang dikehendaki adalah pemerintahan
yang demokratis, ialah berporos kepada kedaulatan rakyat.
Mengingat
keadaan cukup genting dengan berlangsungnya revolusi sosial di Sumatera Timur
itu. Panglima Divisi TKR Sumatera Timur Kolonel Achmad
Tahir memberlakukan keadaan darurat di Kresidenan Sumatera Timur. Khusus
untuk Tanah Karo, Panglima Divisi itu mengangkat Mayor M. Kasim Komandan
Resimen sebagai pejabat sementara kepala pemerintahan, sebagi pengganti
Ngerajai Meliala, yang termasuk diantara mereka yang ditahan dan sudah
dikirimkan ke Tanah Alas, Aceh Tenggara.
Berikut dikutip tulisan dari
buku “Historica Documentica”, susunan Oesman Raliby terbitan Bulan Bintang,
1953, sekitar kejadian Revolusi Sosial Maret 1946 diseluruh Kresidenan Sumatera
Timur.
Maret, 5 (1946)
Di beberapa
daerah di Sumatera Timur beberapa hari yang lalu telah terjadi Revolusi Sosial
yang hebat yang ditujukan oleh rakyat kepada orang-orang dan golongan-golongan
yang tersangka berhianat kepada bangsa dan tanah air, maupun yang menghalangi
pertumbuhan NRI. Kerusuhan tersebut mula-mula terjadi
di Sunggal (Deli), Kabanjahe (Karo), Tanjung Balai (Asahan) dan Pematang
Siantar.
Pemerintah
telah mengirimkan wakil-wakilnya ke daerah-daerah pemberontakan itu untuk
mengamankan dan menyusun kembali pemerintahan yang sebenar-benarnya berdasarkan
kedaulatan rakyat. Berpuluh-puluh orang ditangkap,
ditahan ataupun disingkirkan oleh barisan-barisan rakyat, sebab kabar-kabar
yang pasti belum diperoleh. Sebagai Residen Sumatera
Timur telah diangkat oleh Wakil Gubernur, Saudara M. Jusus Nasution, demikian
menurut komunike Balai Penerangan NRI.
Pernyataan Wakil Gubernur Sumatera
I. Dengan tiba-tiba rakyat seluruh Sumatera Timur
telah bertindak menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman di daerah
masing-masing, gerakan ini merupakan satu Revolusi Sosial yang mahahebat.
II. Tindakan rakyat untuk menyapu bersih segala musuh-musuh negara Republik di
dalam negeri ini saya terima dengan perasaan syukur, asal segala tindakan
dilakukan dengan perhitungan laba rugi dan dilakukan dengan dasar
perikemanusiaan, supaya korban Revolusi Sosial ini adalah sedikit mungkin.
III. Kepada rakyat (warga negara) Sumatera Timur saya mohonkan, supaya
Saudara-saudara tinggal aman dan tentram dan meneruskan pekerjaan
masing-masing, supaya roda Republik berputar terus. Saya yakin, bahwa segala
orang yang tidak bersalah atau berdosa terhadap tanah air tidak akan dapat gangguan apa-apa.
IV. Dalam keadaan yang genting ini perlu diambil tindakan yang luar biasa,
yaitu akan diubah susunan pemerintahan dan cara
pemerintahan dengan radikal, supaya selaras dengan keinginan rakyat (kedaulatan
rakyat). Berhubung dengan hal itu, pemerintah Sumatera Timur buat sementara
waktu, mulai hari ini dijalankan oleh Sauara M. Junus Nasution (selama ini
asisten residen), dengan bantuan Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat dan
dari Volksfront. Pemerintahan di luar Medan
akan diubah susunannya menurut dasar keadilan rakyat.
Saya telah angkat Saudara Mr. Luat Siregar jadi juru damai (pacificator) untuk
seluruh Sumatera Timur dengan volmacht yang seluas-luasnya
Saya harap Komite Nasional di segala tempat berusaha segiat-giatnya
bekerja bersama-sama dengan Saudara juru damai ini dan mengemukakan segala
keinginan-keinginan rakyat kepada beliau itu.
V. Sebelumnya pemerintahan baru di seluruh
Sumatera Timur dibentuk, maka buat sementara waktu pemerintahan dan penjagaan
keamanan di luar Medan
diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia yang bekerja dengan Komite
Nasional Indonesia dan Persatuan Perjuangan.
VI. Disamping perubahan pemerintahan Sumatera Timur akan diadakan koordinasi
antara pemerintah baru dengan Volksfront (Persatuan Perjuangan), Komite
Nasional Indonesia, Tentara Republik Indonesia dan Polisi, supaya mencapai
hasil perjuangan yang sebaik-baiknya. Saya minta juga bantuan
dari gerakan-gerakan ekonomi istimewa, seperti ERRI (Ekonomi Rakyat Republik Indonesia)
dan Gerakan Tani dan lain-lain supaya kita mendapat front ekonimi yang
sekuat-kuatnya.
Salam : Kesain
Rumah Derpih