Pesan terakhir yang penuh makna
Kalau
seseorang yang kita kasihi meninggal, maka kita mencoba mengingat
pengalaman-pengalaman bersama dengan orang tersebut, baik pengalaman suka
maupun duka. Namun, terutama kita mencoba mengingat apa
yang diucapkan pada saat-saat menjelang ajalnya, karena pesan pada saat-saat
terakhir adalah penting dan penuh makna.
Dalam tulisan ini, maka kita akan melihat tujuh pesan Yesus yang diucapkan-Nya pada saat
Dia tergantung di kayu salib, saat-saat akhir hidup-Nya. Dari pesan terakhir
ini, kita akan dapat menangkap hal-hal yang terpenting
yang ingin disampaikan-Nya kepada kita. Tujuh pesan Yesus terdiri dari: (a) Luk
23:34 “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat.“;
(b) Luk 23:43 “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan
ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (c) Yoh 19:26-27 “Ibu,
inilah, anakmu!” dan “Inilah ibumu!“; (d) Mar 15:34 “Allahku, Allahku,
mengapa Engkau meninggalkan Aku?“; (e) Yoh 19:28 “Aku haus!“; (f)
Yoh 19:30 “Sudah selesai“; (g) Luk 23:46 “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu
Kuserahkan nyawa-Ku.“
Dari pesan ini, kita melihat
bagaimana Yesus ingin membawa keselamatan bagi semua orang dengan memberikan
pengampunan kepada umat manusia, sehingga manusia dapat bersatu dengan Allah di
dalam Kerajaan Sorga, sama seperti Yesus membawa pencuri di sebelah kanan-Nya
ke Firdaus. Bagaimana cara untuk mencapai Kerajaan
Sorga? Yesus menunjukkan agar kita dapat menerima Maria sebagai bunda kita,
senantiasa berharap pada Allah dalam kesulitan, haus akan jiwa-jiwa untuk
diselamatkan, serta terus setia terhadap panggilan kita sampai akhir hayat
kita, sampai tiba saatnya kita menyerahkan nyawa kita kepada Bapa dan kemudian
memulai kehidupan baru di dalam Kerajaan Sorga.
1. Luk 23:34 “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Pada saat Yesus tergantung di
kayu salib, di tahta-Nya yang dipandang hina oleh banyak orang, Dia melihat
dengan jelas drama kehidupan kehidupan manusia, mulai dari serdadu yang kejam,
murid-muridnya yang pengecut, kaum Farisi yang iri hati, orang-orang yang tidak
melakukan apapun ketika mereka melihat ketidakadilan. Di kayu salib dan juga
dalam permenungan-Nya di taman Getsemani, Kristus juga
melihat dosa-dosa seluruh umat manusia, mulai dari Adam dan Hawa sampai manusia
terakhir. Ini berarti Dia juga melihat semua dosa kita.
Inilah yang menyebabkan Yesus meneteskan keringat darah.
Santo Tomas Aquinas menyatakan
bahwa ada tiga pengetahuan di dalam Kristus dalam kodrat-Nya sebagai manusia,
yaitu: 1) pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman/ pembelajaran (acquired
knowledge), 2) pengetahuan yang ditanamkan dari Allah (infused knowledge);
dan 3) pandangan kesempurnaan surgawi (beatific vision). Acquired knowledge
ini adalah sama seperti pengetahuan yang kita dapatkan
dari kita belajar kehidupan sehari-hari maupun mendapatkan pengetahuan tentang
pengetahuan-pengetahuan yang lain. Hal ini dinyatakan di dalam Alkitab ketika
dituliskan “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan
besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.“(Luk 2:52). Infused
knowledge adalah pengetahuan seperti yang diperoleh oleh nabi-nabi maupun
para malaikat. Allah sendiri memberikan inspirasi dan
dengan akal budi mereka, para nabi mengekspresikannya dengan ungkapan dan
kata-kata mereka sendiri. Bagaimana dengan beatific
vision? Pengetahuan inilah yang dipunyai oleh
Kristus sejak Dia dikandung dan sampai selama-lamanya. Pengetahuan ini memungkinkan Kristus senantisa berada dalam
persatuan dengan Allah Bapa walaupun Dia mengambil kodrat manusia. Pada
saat yang bersamaan, pengetahuan ini memungkinkan Kristus dapat memilih untuk
membawa seluruh umat manusia dalam doaNya di taman
Getsemani.
Bayangkan
ketika orang tua merenungkan dosa-dosa yang diperbuat oleh anaknya. Dalam keterbatasan melihat dosa-dosa anaknya, hati mereka dapat
menjerit dan merasakan kepedihan yang mendalam. Inilah yang dialami oleh
Musa, ketika dia mengetahui bahwa bangsa Israel akan
mengalami kehancuran karena telah menyembah berhala. Dia berkata “31 …”Ah,
bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. 32 Tetapi
sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu–dan jika tidak, hapuskanlah
kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.” (Kel 32:32)
Sekarang coba bayangkan, apa yang dialami oleh Yesus, ketika Dia melihat secara jelas
seluruh dosa-dosa manusia, dari manusia pertama sampai manusia yang terakhir. Dan gambaran seluruh dosa-dosa manusia lebih jelas dibandingkan
dengan kejelasan Musa melihat dosa-dosa umat Israel. Dengan beatific
vision-Nya, Kristus melihat kesombongan manusia, orang-orang yang
meninggalkan Gereja-Nya, orang-orang yang memecahkan diri dari Tubuh Mistik
Kristus, orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka dan lupa akan Tuhan
yang telah memberikan rejeki kepada mereka. Dia juga melihat
dosa-dosa yang kita lakukan, yaitu saat kita lebih memilih kesenangan kita
dibandingkan dengan mengikuti perintah Allah, atau saat kita egois, atau saat
kita marah dan mengeluh ketika ada percobaan datang. Namun,
pada saat yang bersamaan, selain dosa-dosa kita, Kristus juga melihat perbuatan
kasih yang kita lakukan. Ini berarti pada saat kita melakukan perbuatan
kasih, maka kita juga menghibur Kristus pada saat Dia berdoa di taman Getsemani. Pada waktu Kristus berdoa inilah, segala
yang terjadi di masa lalu maupun masa depan,
dihadirkan oleh Kristus. Dengan demikian, jika kita berdoa
dan melakukan perbuatan kasih di masa kini, kita menemani dan menghibur Kristus
pada saat Dia mengalami penderitaan di Taman Getsemani. Kita mengikuti apa yang diperintahkan oleh Kristus sendiri, ketika Dia
mengatakan “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” (Mat 26:38). Jangan
biarkan kita lengah sehingga Kristus menegur kita dengan mengatakan “Tidakkah
kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Mat 26:40).
Bagaimana
dengan pengetahuan manusia seperti kita? Kita dapat mempunyai
pengetahuan eksperimental atau kalau Tuhan menghendaki, seseorang juga dapat
mempunyai infused knowledge. Bahkan dengan seijin
Tuhan, Rasul Paulus mungkin mengalami beatific vision ketika dia
mengatakan bahwa dia mengenal seseorang yang diangkat ke tingkat ketiga dari
Sorga (lih. 2Kor 12:2-4). Namun, menjadi kodrat dari
manusia untuk belajar secara bertahap. Pengetahuan manusia akan Tuhan didapatkan secara bertahap. Hal
ini berbeda dengan para malaikat yang mendapatkan pengetahuan secara lengkap
secara langsung. Inilah sebabnya Tuhan dapat
mengampuni dosa manusia dan memberikan kesempatan kepada manusia berulang-ulang
untuk memperbaiki dosanya, namun kepada malaikat yang berdosa, Tuhan tidak
dapat memberikan kesempatan kedua, mengingat kesempurnaan pengetahuan yang
telah diberikan kepada mereka. Kita ketahui bahwa
sebagian dari para malaikat memilih untuk menolak dan melawan Tuhan.
Dengan
melihat kodrat manusia ini, Kristus berdoa “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (lih.
Luk 23:34). Kristus tahu bahwa manusia memang berdosa karena
dipengaruhi oleh kelemahan-kelemahannya akibat dosa asal. Dengan
demikian, apa yang diperbuat oleh manusia bisa saja
terjadi karena ketidaktahuannya. Namun tidak semua
ketidaktahuan mengakibatkan orang terbebas dari dosa. Ketidakketidaktahuan
yang tak terhindari (invincible ignorance) membuat orang tidak berdosa,
namun ketidaktahuan yang disebabkan oleh ketidakpedulian orang itu sendiri (culpable
ignorance) menyebabkan seseorang tetap bersalah. Rasul
Petrus mengerti bahwa orang-orang yang menyalibkan Yesus bertindak karena
ketidaktahuan mereka, sehingga dia mengatakan “Hai saudara-saudara, aku tahu
bahwa kamu telah berbuat demikian karena ketidaktahuan, sama seperti semua
pemimpin kamu.” (Kis 3:17)
Bagaimana
dengan kita yang telah menerima Kristus? Kita tidak
mempunyai alasan lagi bahwa kita tidak tahu. Oleh karena itu, tanggung
jawab kita lebih berat, karena barang siapa diberi banyak akan
dituntut lebih banyak (lih. Luk 12:48). Menyadari bahwa
manusia dengan kekuatannya sendiri tidak dapat menjalankan semua perintah
Allah, Kristus menyediakan Diri-Nya sendiri untuk disalibkan, sehingga rahmat
yang berlimpah dapat mengalir kepada kita umat Allah. Bahkan
kesalahan-kesalahan yang dibuat umat Allah dapat dihapuskan dengan melakukan
pengakuan dosa. Dan kalau seseorang tidak mensyukuri
dan menggunakan semua kemudahan untuk mendapatkan pengampunan dosa, maka orang
tersebut tidak lagi mempunyai alasan apapun kalau sampai dia kehilangan
keselamatan kekal.
2. Luk 23:43 “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
Keselamatan kekal bagi manusia
adalah yang menjadi alasan bagi Kristus untuk turun ke dunia, rela menanggung
sengsara, menerima semua kesengsaraan dan penderitaan, serta taat kepada Bapa
untuk mati di kayu salib. Seluruh kehidupan-Nya ditujukan
untuk mengemban misi ini, dan Kristus telah melaksanakannya dengan sempurna.
Bahkan sampai pada menjelang akhir wafat-Nya, Dia tidak
membuang kesempatan sedikitpun untuk menyelamatkan pencuri yang disalibkan
bersama-Nya.
Uskup Agung Fulton Sheen
mengatakan bahwa dalam peristiwa penyaliban, terjadilah suatu drama dari
keinginan (wills) dari dua pencuri yang disalibkan bersama dengan
Yesus.[1]
Ada begitu banyak hal yang terjadi di luar diri kita, yang sering terjadi di
luar kontrol kita. Namun, satu hal yang dapat kita kendalikan
adalah keinginan kita. Di luar mungkin saja terjadi
sesuatu yang begitu menyesakkan, membuat marah, namun kita tetap dapat
memutuskan untuk tetap tenang. Bagi umat Katolik,
ketenangan ini bersumber dari Kristus yang menderita, wafat dan bangkit.
Oleh sebab Kristus telah mengatasi segalanya, maka kita dapat
tetap tinggal tenang, sebab tak ada sesuatupun yang dapat terjadi di luar
rencana Allah.
Menjadi sesuatu yang umum,
bahwa pada saat seseorang disalibkan, maka dia akan
menyumpahi orang yang menyalibkannya, bahwa menyumpahi dirinya, menyumpahi
Tuhan dan hari kelahirannya. Namun, dua pencuri yang
disalibkan mendengarkan seseorang yang disalib di tengah-tengah mereka
mengatakan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang
mereka perbuat.” (Luk 23:34). Pengampunan ini
mendatangkan rahmat. Paling tidak salah satu dari
pencuri ini menyambut rahmat Allah. Bahkan ketika
pencuri di sebelah kiri mengatakan “Bukankah Engkau adalah Kristus?
Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
(Luk 23:39), maka pencuri di sebelah kanan Yesus menjawab “40 Tidakkah
engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? 41 Kita memang
selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan
kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” (Luk 23:40-41)
Percakapan
ini mungkin terlihat sepele. Namun, kita jangan
melupakan bahwa setiap kata yang keluar dari orang yang disalibkan adalah
merupakan suatu penderitaan, karena setiap tarikan nafas menjadi suatu siksaan.
Pencuri di sebelah kanan, yang menurut tradisi bernama Dimas, dalam
keterbatasannya telah memberikan nyawanya untuk Kristus, dan dia juga menaruh
pengharapan di dalam Kristus, sehingga dia memohon kepada Yesus “Yesus,
ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Luk 23:42) Sungguh suatu ungkapan pengharapan dan iman yang begitu sederhana
dan dalam. Terhadap ungkapan iman dan kasih ini, Yesus
menjawab “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada
bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43)
Mari, dalam
Pekan Suci ini, kita bersama-sama merenungkan, bahwa kita yang telah menerima
baptisan sakramental, seharusnya mempunyai sikap seperti yang ditunjukkan oleh
Dimas, bahkan dituntut lebih. Mengapa? Karena
kita telah menerima rahmat Allah yang begitu istimewa dalam Sakramen Baptis,
seperti: (a) rahmat pengudusan, (b) menjadi anak-anak Allah dan dipersatukan
dalam Tubuh Mistik Kristus, (c) menerima tiga kebajikan ilahi (iman,
pengharapan dan kasih), (d) menerima tujuh karunia Roh Kudus seperti yang
disebutkan di dalam Yes 11:2-3 (kebijaksanaan, pengertian, nasihat,
keperkasaan, pengenalan, kesalehan, dan takut kepada Allah). Dengan
rahmat-rahmat ini kita dimampukan untuk mengikuti perintah Kristus, yang
menuntun kita kepada keselamatan kekal.
3. Yoh 19:26-27 “Ibu, inilah, anakmu!” dan “Inilah ibumu!”
Dengan
penebusan-Nya di kayu salib, Kristus telah membuka jalan keselamatan bagi semua
orang. Dia telah memberikan Diri-Nya dengan
sehabis-habisnya. Dia telah memberikan Tubuh dan
Darah-Nya di kayu salib, yang telah diantisipasi dalam Perjamuan Suci (lih.
Mat 26:26-29, Mar 14:22-25, Luk 22:19-20). Namun rupanya ini
tidak cukup. Memandang dari kayu salib, Kristus
melihat dua orang yang dikasihi-Nya, yaitu Ibu-Nya, Bunda Maria dan murid-Nya
yang terkasih, rasul Yohanes. Dengan sisa-sisa nafas-Nya, Kristus
memberikan pesan yang begitu penting kepada kita, yaitu pesan ketika Kristus
memandang Ibu-Nya dan murid-Nya dan berkata “Ibu (RSV = Woman), inilah,
anakmu!.. dan inilah ibumu”
(Yoh 19:26-27). Dalam bukunya, uskup agung Fulton Sheen mengatakan bahwa dengan
menyebut woman (perempuan) dan bukan ibu, maka Kristus menginginkan
bahwa Bunda Maria bukan hanya menjadi bunda Kristus saja, namun dia menjadi
bunda seluruh umat beriman. Inilah sebabnya Kristus menyerahkan ibu-Nya kepada kepada murid yang dikasihi-Nya – tanpa nama, untuk
menyatakan bahwa perintah ini ditujukan kepada semua murid Kristus.
Sebaliknya
Kristus juga menyerahkan murid-Nya untuk menjadi putera Bunda Maria. Satu-satunya anak Maria memang tidak tergantikan, yaitu Kristus.
Namun, Kristus ingin memberikan hubungan yang baru antara
Maria dengan seluruh umat beriman. Kristus menginginkan agar Maria dapat
menerima seluruh umat beriman sebagai anaknya, karena Kristus sendiri hadir dan
bersatu dalam diri setiap umat beriman, sama seperti Kristus sendiri
mengumpamakan DiriNya sebagai pokok anggur dan seluruh ranting-ranting bersatu
dengan-Nya (lih. Jn 15:5). Ini berarti, Kristus menginginkan
agar Bunda Maria turut berpartisipasi dalam karya keselamatan Kristus dan
memperlakukan seluruh umat beriman sebagai anaknya. Suka
atau tidak suka, Kristus menginginkan hal ini dan memberikan Maria sebagai
bunda bagi seluruh umat beriman. Kalau Kristus tidak berkeberatan untuk
dididik oleh Maria dan Maria dipandang baik oleh Kristus sebagai Bunda Allah,
maka siapakah kita yang memandang bahwa kita tidak perlu menghormati Bunda
Maria, bahkan ada yang menyingkirkan Bunda Maria dari kehidupannya? Apakah ada seorang pria yang merasa bahwa pacarnya terlalu
berlebihan karena dia menghormati ibunya juga?
4. Mrk 15:34 “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Disaksikan
oleh Bapa-Nya di Sorga dan ibu-Nya di kaki kayu salib, Yesus berkata “Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kalimat
yang berkesan keputusasaan. Mungkin jeritan yang sama,
sering kita teriakkan dalam kesesakan dan penderitaan kita. Kita mengetahui
bahwa Kristus adalah sungguh sama seperti kita, yang
telah mengecap semua yang kita alami, termasuk penderitaan. Namun, di dalam
penderitaan-Nya, Dia telah menunjukkan adanya suatu kepercayaan yang kokoh akan rencana Allah. Perkataan Eli, Eli Lamasabakthani,
merupakan permulaan dari Mazmur 22, yang lengkapnya adalah sebagai berikut:
1 Untuk pemimpin
biduan. Menurut lagu: Rusa di kala fajar. Mazmur Daud. (22-2) Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru,
tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.
2 Allahku, aku berseru-seru
pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi
tidak juga aku tenang.
3 Padahal Engkaulah Yang Kudus
yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.
4 Kepada-Mu nenek moyang kami
percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.
5 Kepada-Mu mereka
berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak
mendapat malu.
6 Tetapi aku ini ulat dan bukan
orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak.
7 Semua yang melihat aku mengolok-olok aku,
mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya:
8 “Ia menyerah kepada TUHAN;
biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?”
9 Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan;
Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.
10 Kepada-Mu aku diserahkan
sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.
11 Janganlah jauh dari padaku,
sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong.
12 Banyak lembu jantan mengerumuni aku;
banteng-banteng dari Basan mengepung aku;
13 mereka mengangakan mulutnya
terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum.
14 Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku
terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam
dadaku;
15 kekuatanku kering seperti
beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut
Kauletakkan aku.
16 Sebab anjing-anjing
mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan
kakiku.
17 Segala tulangku dapat
kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku.
18 Mereka membagi-bagi
pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.
19 Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku,
segeralah menolong aku!
20 Lepaskanlah aku dari pedang,
dan nyawaku dari cengkeraman anjing.
21 Selamatkanlah aku dari mulut
singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!
22 Aku akan memasyhurkan
nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah
jemaah:
23 kamu yang takut akan TUHAN, pujilah Dia, hai
segenap anak cucu Yakub, muliakanlah Dia, dan gentarlah terhadap Dia, hai
segenap anak cucu Israel!
24 Sebab Ia tidak memandang hina ataupun
merasa jijik kesengsaraan orang yang tertindas, dan Ia tidak menyembunyikan wajah-Nya
kepada orang itu, dan Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong
kepada-Nya.
25 Karena Engkau aku memuji-muji dalam jemaah
yang besar; nazarku akan kubayar di depan mereka yang
takut akan Dia.
26 Orang yang rendah hati akan
makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji Dia; biarlah
hatimu hidup untuk selamanya!
27 Segala ujung bumi akan
mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa
akan sujud menyembah di hadapan-Nya.
28 Sebab Tuhanlah yang empunya
kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa.
29 Ya, kepada-Nya akan
sujud menyembah semua orang sombong di bumi, di hadapan-Nya akan berlutut semua
orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup.
30 Anak-anak cucu akan
beribadah kepada-Nya, dan akan menceritakan tentang TUHAN kepada angkatan yang
akan dating.
31 Mereka akan
memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah
melakukannya.
Bagi umat
Yahudi, kalau seseorang memulai kalimat pertama dari Mazmur, maka berarti orang
bermaksud untuk menyelesaikannya. Dan dalam kondisi
tersalib, sungguh tidak mungkin untuk menyelesaikan pengucapan keseluruhan
Mazmur tersebut. Ini berarti, bahwa kalimat pertama dari Mazmur 22 harus
dimengerti dalam konteks keseluruhan, yaitu untuk mempercayai dan
menggantungkan segala sesuatunya ke dalam tangan Bapa, yang pada akhirnya akan
membawa kemuliaan, di mana seluruh ujung bumi akan mengingat dan berbalik
kepada Tuhan (lih. Mzm 22:27). Ini adalah suatu pengajaran
dari Kristus yang harus diikuti oleh seluruh murid Kristus tentang bagaimana
menaruh pengharapan di dalam Tuhan dalam kondisi apapun. Cara dan sikap dalam menghadapi penderitaan adalah salah satu
perbedaan antara orang yang mengenal Kristus dan yang tidak mengenal Kristus.
Bahkan rasul Paulus mengatakan “3 Dan bukan hanya itu
saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena
kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, 4
dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan
pengharapan. 5 Dan pengharapan tidak
mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh
Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rom 5:3-5)
Kalau seseorang menjadi murid
Kristus, maka dia akan mengikuti apa yang dilakukan
oleh Kristus, termasuk adalah cara menghadapi permasalahan dan penderitaan.
Karena dengan penderitaan-Nya, Kristus dapat memenangkan belenggu dosa, maka
dengan menyatukan segala penderitaan kita dengan Kristus, kita akan memperoleh
kemenangan, yaitu kemenangan yang menyelamatkan, yang mengantar kita pada kehidupan kekal. Kuncinya adalah menghadapi
permasalahan dengan terus bertekun dalam doa yang
didasarkan iman, pengharapan dan kasih, seperti yang dilakukan oleh Kristus.
Mungkin ada
yang bertanya, kalau Yesus memang Tuhan, mengapa pada saat disalib, Dia berdoa?
Sebenarnya, Yesus berdoa tidak hanya terbatas pada waktu
Yesus disalib, namun Yesus berdoa dalam berbagai kesempatan (lih. Mt
16:23; Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28;
Lk 11:1-2; Lk 18:1). Santo Thomas Aquinas membahas tentang definisi doa, dimana dia mengatakan bahwa doa adalah membuka
keinginan kita kepada Tuhan, sehingga Dia dapat memenuhinya.”[2] Karena
di dalam Kristus (satu pribadi) ada dua kehendak, yaitu kehendak manusia dan
kehendak Tuhan, maka menjadi hal yang wajar, kalau Yesus berdoa karena Dia
mempunyai kodrat manusia. Sama seperti kita sebagai orang
beriman, kita menyatakan keinginan/ kehendak kita di hadapan Allah.
Alasan kedua
adalah Yesus berdoa untuk kepentingan manusia. Yesus dapat saja berdoa
dalam hati, namun Dia ingin menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya
sebagai manusia kita berdoa, yaitu bahwa kita harus senantiasa tunduk kepada
kehendak Allah Bapa, meskipun di dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Yesus berdoa tanpa henti,
untuk mengajar manusia senantiasa berdoa di dalam segala kesempatan tanpa henti
(lih. Mt 16:23; Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk
9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1).
Yesus mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam
doa yang terpenting adalah untuk mengikuti kehendak Tuhan, seperti yang
dikatakan-Nya dalam doa-Nya di Taman Getsemani, dimana Dia berkata “”Ya Abba,
ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku,
tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”
(lih. Mt 26:36; Mk 14:32-36).
Yesus mengajarkan doa
yang sempurna, yaitu doa Bapa Kami, yang terdiri dari tujuh petisi (lih. Mt
6:9-13).
Yesus menunjukkan bahwa di dalam setiap
percobaan, maka Tuhanlah yang menjadi kekuatan dalam doa,
seperti yang ditunjukkan oleh Yesus di dalam drama penyaliban (Mt 27:46; Mk
15:34; Lk 23:46).
Yesus juga mengajarkan pentingnya
untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, seperti yang ditunjukkan
oleh Yesus dengan berdoa “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu
apa yang mereka perbuat.” (lih. Lk 23:34).
Dan masih begitu banyak contoh
yang lain, yang menyebabkan pengikut Kristus tahu
bagaimana untuk berdoa, karena Tuhan sendiri – melalui Kristus – yang
menunjukkan kepada manusia bagaimana seharusnya berdoa.
Dengan demikian, maka kita
dapat melihat bahwa doa Yesus di atas kayu salib
sungguh merupakan doa yang berpengharapan yang menyelamatkan dan memberikan
contoh bagi seluruh umat beriman.
5. Yoh 19:28 “Aku haus!”
Contoh apalagi yang ingin
diberikan oleh Kristus sebelum dia menghembuskan nafas-Nya yang terakhir ketika
Dia mengatakan “Aku haus!“?
Dikatakan di ayat Yoh 19:28 bahwa perkataan Yesus “Aku Haus”
adalah untuk memenuhi nubuat di dalam Kitab Suci. Ini
adalah pemenuhan dari Mzm 69:21 yang mengatakan “… dan pada waktu aku haus,
mereka memberi aku minum anggur asam.” Dengan
demikian, pernyataan Yesus merupakan penegasan bahwa Yesus yang tersaliblah
yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama.
Memang dalam
kodrat-Nya sebagai manusia, Yesus mengalami penderitaan dan kehausan yang
begitu sangat. Namun, kehausan dalam kapasitas yang
lebih dalam adalah kehausan untuk meyelamatkan jiwa-jiwa. Ini adalah
drama pencarian Tuhan akan manusia. Drama
di mana Tuhan yang dari Sorga turun ke dunia untuk menjangkau jiwa-jiwa yang
tercerai berai. Kehausan ini mengingatkan kita akan
permintaan Yesus kepada wanita Samaria
“Berilah Aku minum” (Yoh 4:7). Dan percakapan ini pada akhirnya membawa
keselamatan kepada wanita Samaria dan juga
orang-orang di kota
tersebut. Keselamatan wanita Samaria dan orang-orang di kota tersebut tidaklah
cukup bagi Yesus, sehingga di atas kayu salib, Dia tetap merasa kehausan,
karena Dia ingin menjangkau seluruh umat manusia, ingin menemukan dan mengantar
seluruh umat manusia pada keselamatan dan pengetahuan akan kebenaran (lih. 1Tim
2:4)
Karena Tuhan senantiasa dalam
pencarian akan manusia, maka sejak dari Perjanjian Lama dikatakan “13
apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku
dengan segenap hati, 14 Aku akan memberi kamu menemukan Aku” (Yer 29:13-14)
Inilah sebabnya ketika seseorang menyadari bahwa dia memerlukan Tuhan, ketika
seseorang melihat penderitaan dalam kacamata iman, ketika seseorang menerima
penderitaan dengan tabah, ketika seseorang mau menyangkal dirinya dan memikul
salibnya dan mengikuti Kristus, maka Tuhanlah yang sebenarnya menjadi penggerak
utama dari semuanya itu. Dalam drama penyaliban, terutama perkataan Yesus bahwa
Dia haus, kita menyaksikan akan drama tentang Tuhan
yang sungguh mencintai manusia dengan sehabis-habisnya. Bagaimana
tanggapan manusia? Bagaimana tanggapan kita?
6. Yoh 19:30 “Sudah selesai”
Setelah
prajurit memberikan bunga karang yang telah dicelupkan pada anggur asam, lalu
Yesus meminumnya dan berkata “sudah selesai” (lih. Yoh 19:30). Kita dapat melihat adanya tiga hal yang berkaitan dengan “sudah
selesai”. Di dalam Kitab Kejadian, setelah Tuhan menyelesaikan
penciptaan, maka pada hari ke tujuh, Dia mengatakan “Ketika Allah pada hari
ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan (finished His work) yang
dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang
telah dibuat-Nya itu. ”
(Kej 2:2) Dan Kitab Wahyu menuliskan “Semuanya telah terjadi
(it is done). Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air
kehidupan.” Ini berarti, penciptan dunia dan kemenangan di Sorga hanya dapat
terjadi kalau pekerjaan yang dilakukan Yesus telah selesai. Dan dalam
konteks inilah Yesus mengatakan “sudah selesai” untuk menyatakan bahwa
Dia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa dengan sempurna,
bukan dengan keputusasaan dan kegetiran, namun dengan dasar kasih yang
sempurna. Inilah yang membuat persembahan Kristus di kayu
salib dapat menyenangkan hati Bapa – yaitu karena didasarkan kasih yang
sempurna.
Ini juga
yang seharusnya mendorong kita dalam perjalanan kehidupan kita. Sama seperti Rasul Paulus, kita juga ingin berlari ke tujuan untuk
memperoleh hadiah, yaitu panggilan Sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (lih.
Flp 3:14).
7. Luk 23:46 “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”
Kata yang
terakhir dari Yesus setelah mengatakan “sudah selesai” adalah “Ya
Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku“. Dalam
satu kalimat ini, kita dapat melihat hubungan yang sungguh dalam dan tak terpisahkan
antara Bapa dan Putera. Bapa begitu mencintai manusia,
sehingga Dia mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menebus dosa dan
menyelamatkan manusia (lih. Yoh 3:16). Kristus datang
ke dunia dan senantiasa melaksanakan kehendak Bapa. Dari
umur duabelas tahun, Kristus telah mengatakan bahwa Dia harus berada di dalam
rumah Bapa-Nya (Luk 2:49). Dalam seluruh karya-Nya, Kristus senantiasa
melakukan apa yang berkenan kepada Bapa (lih. Yoh
8:29). Sampai pada akhirnya, Kristus menyerahkan nyawaNya ke
dalam tangan Bapa (lih. Luk 23:46). Dengan
kebebasan-Nya, Kristus melakukan kehendak Bapa.
Bagaimana
dengan kita? Bagaimana kita menggunakan kebebasan
kita? Orang sering salah dalam mengartikan kebebasan.
Orang sering mengartikan kebebasan sebagai “kebebasan dari
/ freedom from” dan bukan “kebebasan untuk / freedom for“.
Kebebasan yang lebih menekankan “kebebasan dari” merupakan ekspresi akan keinginan yang terbebas dari hal-hal yang dianggap
mengikatnya, termasuk tanggung jawab. Orang yang menginginkan kebebasan untuk
minum minuman keras tanpa mau dibatasi jumlahnya, cepat atau lambat akan menemukan bahwa dirinya tidak lagi bebas. Dia akan terikat akan minuman keras, dan tidak lagi mempunyai
kebebasan untuk mengatakan tidak terhadap minuman keras. Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa mengumbar kebebasan tanpa adanya batasan
yang jelas dapat membuat manusia menjadi tidak bebas lagi. Katekismus
Gereja Katolik mendefinisikan kebebasan sebagai berikut:
KGK, 1731.
Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan
kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini
atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar.
Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri
sendiri. Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh
dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan. Kebebasan itu
baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan kepada Allah, kebahagiaan kita.
Dari
definisi di atas, kita dapat melihat bahwa kebebasan seharusnya juga dibarengi
dengan kebenaran (truth) dan kebaikan (good). Tanpa
dibarengi dengan kebenaran dan kebaikan, maka kebenaran akan
menjadi suatu tindakan yang tidak bertanggungjawab. Semakin tinggi kebenaran
dan kebaikan itu, maka kebebasan itu akan semakin
membebaskan. Karena tidak ada kebenaran dan kebaikan yang lebih tinggi dari
Tuhan - sebab Tuhan adalah kebaikan dan
kebenaran itu sendiri – maka kebebasan sejati adalah kebebasan yang didasarkan
atas ketentuan dari Tuhan. Kristus sendiri, sebagai jalan,
kebenaran dan hidup (lih. Yoh 14:6) telah mengatakan bahwa kebenaran akan membebaskan (lih. Yoh 8:32). Dengan
demikian, dalam kata yang terakhir di kayu salib, Kristus telah menunjukkan
bahwa Dia secara bebas menjalankan kehendak Bapa dan secara bebas memberikan
nyawa-Nya untuk Bapa. Inilah kebebasan yang sejati.
Paus Yohanes Paulus II dalam
suratnya kepada kaum muda seluruh dunia pada tahun 1985 mengatakan “And in
this sphere Christ’s words: “You will know the truth, and the truth will make
you free”, become an essential programme. Young people, one might say, have an inborn “sense of truth”. And truth must be used for
freedom: young people also have a spontaneous “desire for freedom”. And what
does it mean to be free? It means to know how to use one’s freedom in truth-to
be “truly” free. To be truly free does not at all mean doing everything that
pleases me, or doing what I want to do. Freedom contains in itself the
criterion of truth, the discipline of truth. To be truly free means to use
one’s own freedom for what is a true good. Continuing therefore: to be truly
free means to be a person of upright conscience, to be responsible, to be a
person “for others”.[3]
Mari, dalam
Pekan Suci ini, kita merenungkan sejauh mana kita telah menggunakan kebebasan
kita. Apakah kita telah menggunakan kebebasan kita
dengan bertanggungjawab berdasarkan kebenaran dan kebaikan, sehingga dapat
mengarahkan kita kepada keselamatan diri kita maupun membantu keselamatan
orang-orang di sekitar kita? Jika kita telah mati dari
dosa kita – karena Sakramen Baptis – yang kita terima, dan membuat kita dapat
bangkit bersama Kristus, maka kita juga harus mengikuti teladan Kristus.
Kita dapat menyerahkan kebebasan kita kepada Tuhan sehingga
kita dapat semakin bebas untuk melaksanakan seluruh perintah Tuhan.
Melaksanakan tujuh pesan terakhir Yesus mengantar kita kepada keselamatan
Dari
pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa tujuh pesan terakhir Yesus sungguh
penuh makna yang mendalam. Kalau kita terus merenungkan pesan-pesan ini
sepanjang Pekan suci ini, maka kita akan semakin
menghargai pengorbanan Yesus. Apapun kondisi kita, di Pekan
suci ini, Kristus menawarkan pengampunan kepada kita semua. Bagi yang berdosa berat, segeralah mengaku dosa dan bagi yang
berjuang dalam kekudusan, teruslah berfokus pada tujuan akhir. Yesus menginginkan agar semua manusia dapat sampai pada tujuan
akhir, yaitu Sorga. Tidak ada kata terlambat.
Sejauh kita masih hidup dan bertobat, sama seperti
pencuri yang disalibkan di sisi kanan Yesus, maka Kristus akan memberikan janji
yang sama, yaitu keselamatan kekal.
Demikian
pula, Kristus menyerahkan Bunda-Nya menjadi Bunda segenap umat beriman, agar
kita dapat memohon dukungan doanya agar dapat sampai kepada keselamatan.
Tujuan akhir ini juga harus dihadapi dengan pengharapan akan
Allah, sehingga pencobaan dan penderitaan tidak menjadikan kita perputus asa.
Dalam perjalanan kita menuju Sorga, kita juga harus mempunyai semangat untuk
membawa orang-orang di sekitar kita untuk memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Dan ini harus kita lakukan
sampai akhir hidup kita, sampai tugas kita selesai dan sampai kita menyerahkan
nyawa kita ke dalam tangan Bapa. Dengan menjalankan
pesan Kristus ini, maka kita dapat mencapai tujuan akhir dengan selamat.