Sejarah Gereja Inkulturatif Karo Berastagi

SEJARAH GEREJA INKULTURATIF KARO
ST. FRANSISKUS ASISI BERASTAGI

(Oleh: Betlehem Ketaren, SH*).

Gereja paroki Berastagi ini didirikan dengan  arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian.
Gereja merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa  dan suku di dunia ini, sebagaimana dirumuskan  oleh Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium nomor 37 dan Konsili Gaudium et Spes nomor 53-62.
            Gereja  Inkulturatif Karo ini berada di Jl. Let. Jend. Jamin Ginting Berastagi, berdiri megah dengan ketinggian 35m dengan panjang bangunan 32m dan lebarnya 24m dapat menampung 1000 dalam mengikuti Perayaan Ekaristi. Gereja ini juga mempunyai pendopo dengan model “geriten” (rumah kecil tanpa dinding untuk berbagai keperluan religi dan sebagai ruang untuk aneka keperluan kaum muda) dengan panjang 10,40m , lebar 10m dengan ketinggian 15m. St. Fransiskus dari Asisi dipilih sebagai pelindung gereja ini mengingat peranan mulia St. Fransiskus Asisi dalam menghormati alam ciptaan dan menjadi saudara bagi semua. St. Fransiskus Asisi telah dinobatkan Vatikan sebagai santo pelindung lingkungan hidup dan karena itu diharapkan menjadi teladan bagi semua manusia dalam menghidupi semangat dan cinta kepada seluruh alam ciptaan.
Diharapkan setiap orang yang masuk gereja ini, akan kembali bersemi didalam hatinya rasa bersyukur kepada Si Pencipta, dan rasa cinta kepada sesama yang menumbuhkembangkan semangat untuk mencintai lingkungan hidup, sebab karena itu kita akan dapat merasakan kedamaian dan ketenteraman nan sejati (Dame ras Mejuah-juah).

SEJARAH PEMBANGUNAN GEREJA INKULTURATIF KARO, ST. FANSISKUS ASISI BERASTAGI

Menurut tradisi Karo, pembangunan rumah Karo diawali dengan “runggu sangkep nggeluh Rakut Sitelu” (musyawarah adat keluarga besar) mengingat pembangunan rumah Karo memerlukan partisipasi yang besar dari seluruh keluarga berupa dukungan pikiran, kebersamaan maupun tenaga bersama. Setiap batang kayu untuk pembangunan rumah Karo dulu didorong dan ditarik secara gotong royong dari gunung atau dari tepi sungai yang jauh dari pemukiman.

  1. Tahap Awal: “Runggu” (Musyawarah Mufakat) dalam Lokakarya Budaya Karo
Sebagaimana layaknya pembangunan rumah Karo, Pembangunan Gereja Inkuturatif Karo dimulai dengan suatu “runggu” Lokakarya bertempat di Maranatha Berastagi pada tanggal 9-10 Agustus 1999, yang dibuka oleh D.D. Sinulingga sebagai bupati Karo kala itu, dan dihadiri oleh Bp. Adrianus Ganjangen Sitepu dan Bp. Nempel Tarigan selaku pembicara tentang kebudayaan Karo, P. Emmanuel S. Kembaren, OFM Cap dan P. Ivo Simanullang, OFM Cap selaku pembicara tentang gereja dan inkulturasi, rombongan arsitek dari UNIKA Medan, Br. Anianus Snik selaku kepala PTK KAM dan segenap anggota Dewan Paroki Kabanjahe.
Dari lokakarya ini mengemukalah kesatuan pemikiran tentang pembangunan gereja inkulturatif Karo dengan bentuk gereja dalam arsitektur Karo dan hiasan-hiasannya dipakai dari perpaduan ornamen Karo dan ornamen  Gereja dengan mengingat mempertimbangkan dan menyelaraskan fungsi dan dasar teologisnya masing-masing.
Hasil lokakarya ini kemudian diusulkan kepada Mgr. Pius Datubara, OFM Cap, dan ternyata beliau dengan senang menerimanya dan menyatakan setuju untuk dibangun untuk menampakkan Kerajaan Allah, sekaligus sebagai lambang peranan Gereja dalam menjaga, mengembangkan dan melestarikan adat budaya Karo.

  1. Tahap Pelaksanaan Pembangunan
Tahap pelaksanaan pembangunan gereja inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi Berastagi diawali dengan pembentukan panitia pembangunan yang diadakan pada tanggal 04 Maret 2011 dalam rapat Dewan Paroki Kabanjahe, yang menunjuk Bpk. Sue Johanes Tarigan sebagai ketua umum dan Bpk. Zakaria Sinuhaji sebagai sekretaris umum panitia pembangunan, pembelian tapak gereja dari keluarga Bp. Nelang Sembiring (Bukit Kubu) dengan dana dari stasi, umat Berastagi, keuskupan dan dari Propinsial Kapusin Belanda. Kelancaran pengadaan tapak ini juga berkat kebaikan Nd. Anita br. Surbakti dalam mengadakan negoisasi dengan pemilik awal tanah tersebut.
Panitia pembangunan didampingi P. Leo Joosten OFM Cap  berusaha sekuat tenaga menghimpun dana dan menghubungi para sponsor, dan pada hari Sabtu tanggal 19 Mei 2001 diadakan peletakan Batu Pertama gereja inkulturatif Karo ini yang dilakukan oleh Mgr. Pius Datubara, OFM Cap.
Adapun Sponsor-sponsor pembangunan gereja ini yang tidak mungkin dapat dilupakan, meliputi:
  • Sponsor pengadan tapak gereja, antara lain:
  1. Umat Katolik Berastagi;
  2. Propinsi Kapusin Berastagi;
  3. Keuskupan Agung Medan;
  • Sponsor pengadaan bangunan gereja, antara lain:
  1. Umat Katolik Berastagi;
  2. Umat Katolik Medan;
  3. Propinsi Kapusin Belanda;
  4. Keuskupan Agung Medan;
  5. Kongregasi Suster-suster: FSE, KYM, KSFL, FCJM, SCMM, SFD, Sacred Keart Tokyo Klaris, Suster Oirschot;
    1. Missio Aachen Jerman;
    2. Kongregasi Budi Mulia;
    3. Kirchein Not/Ostpriesterhilfe Jerman;
    4. Porticus; dan
10.  Keuskupan Roermond Nederland.

Biaya pembangunan gereja inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi Berastagi sebesar Rp. 1.868.302.224 (Satu milyar delapan ratus enam puluh delapan juta tiga ratus dua ribu dua ratus dua puluh empat rupiah).

3.    Peresmian
 Peresmian gereja inkulturatif Karo St, Fransiskus Asisi Berastagi dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2005 dalam Missa Agung yang dipinpin oleh Mgr. Pius Datubara (Uskup Agung Medan) dan Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap (Uskup Padang) didampingi 30 imam dari dalam dan luar negeri dan dihadiri ribuan umat dan para undangan, yang antara lain para pejabat pemerintahan daerah kala itu seperti: Bupati Karo Sinar Perangin-angin, Ketua DPRD Karo Rapat Romanus Purba, SH, Wakil Bupati Karo Djidin Sebayang, SH, Bupati Simalungun Jhon Hugo Silalahi dan pejabat-pejabat Gereja yang terkait, yakni: Propinsial Kapusin Belanda Antoon Mars, OFM Cap dan Procurator P. Huub Boelaars, OFM Cap dan Propinsial Kapusin Propinsi Medan P. Harold Harianja, OFM Cap.
Pada peresmian gereja ini, Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap mengatakan bahwa “lewat gereja ini hendaknya menjadi kenyataan iman Kristen hadir disini, bukan untuk hidup dengan diri sendiri, sombong dan menjadi kelompok tertutup. Gereja ini menunjukkan kepada semua orang bahwa ada alasan untuk berjuang dalam hidup ini. Tanah Karo harum oleh pengaruh iman Katolik dan Tanah Karo harus mendapat berkat melimpah karena kehadiran Gereja Katolik. Kiranya Tanah Karo tidak hanya “malem” karena udaranya sejuk, tetapi juga karena iman katolik yang menyejukkan hati semua orang, hangat dalam kasih, siap membangun persaudaraan, rela bahu membahu dengan siapapun dalam menampakkan Kerajaan Allah di dunia ini.
   Pada akhir Ekaristi Kudus ketika itu, Mgr. Pius Datubara, OFM Cap mengumumkan kepada umat bahwa dengan peresmian gereja inkulturatif Karo di Berastagi, maka secara telah hadir paroki baru secara resmi, yaitu Paroki St. Fransiskus Asisi Berastagi.
   Semoga tulisan ringan tentang sejarah gereja Inkulturatif Kao St. Fransiskus Asisi Berastagi ini berguna sebagai pengetahuan umum bagi kita semua dan kiranya semangat mencintai lingkungan hidup serta kemauan keras guna melestarikan nilai-nilai budaya tetap bergelora si sanubari kita.

*(Sekretaris Paroki St. Fransikus Asisi Berastagi).

Salam : Kesain Rumah Derpih
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Recent Posts