Pastor Leo



Leo Joosten, Pembuat Kamus Batak

BEGITULAH ungkapan sebuah media Belanda, Eindhovens Dagblad pada tahun 1995 kepada Pater Leo Joosten OFMCap, rohaniwan Katolik asal Belanda yang kini menetap di Kabanjahe, Sumatera Utara (Sumut).
Dalam media itu, sehubungan dengan peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, Pater Leo mengimbau warga Belanda untuk mengembalikan lagi berbagai tulisan, artefak, dan beragam benda lain yang berkaitan dengan Batak yang telah pernah dibawa pergi oleh penguasa Belanda ketika menguasai Indonesia.
Sebagai catatan, “Batak” dalam tulisan ini adalah semata etnis Batak Toba, karena etnik Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak, dan Angkola umumnya tidak mau disebut Batak.
Tak disangka, banyak sekali warga Belanda yang menanggapi imbauan itu. Bahkan, seorang kolektor di Negara Kincir Angin itu mau menyerahkan sebuah buku Lak-lak yang sangat tua. Buku Lak-lak yang merupakan manuskrip Batak zaman dulu itu berisi kisah-kisah dan legenda Batak, tulisan sastra, serta berbagai mantra dan ramuan obat-obatan asli Batak itu diperkirakan buatan abad ke-16.
Namun, saat ini buku sangat tua itu belum juga dapat dibawa ke Indonesia. “Dibutuhkan ruangan khusus dengan standar tertentu agar buku itu tidak rusak. Selain itu, tenaga ahli dan petugas yang memiliki kompetensi tentang itu belum ada di sini. Museum di Pangururuan, Samosir, pun masih perlu dipersiapkan lagi,” papar Pater Leo yang sudah menjadi WNI sejak tahun 1994 ini.
Diperkirakan, sekitar 1.000 Lak-lak dari berbagai era kini tersebar di seluruh dunia. Ada 200 buah di Belanda, 100 buah di London, 100 buah di Paris, dan beberapa di tempat lain seperti Jerman bahkan di Moskwa. Pater Leo berharap Lak-lak itu semua dapat kembali ke Indonesia.
“Kebatakan” Leo Joosten masih diperkuat dengan sebuah karyanya, yaitu Kamus Batak Toba-Indonesia yang diterjemahkan dan dilengkapi Leo dari karya Johannes Warneck, yaitu Kamus Batak-Belanda buatan tahun 1905.
***
KETERTARIKAN pria kelahiran Nuenen, Gerwen en Nederwetten, Belanda, 9 September 1942 ini pada budaya Batak berawal dari kecintaannya pada kebudayaan. Sejak tahu akan ditugaskan di Tanah Batak pada tahun 1971, Leo muda mulai rajin mempelajari kebudayaan Batak. Dan dari situlah cintanya mulai tumbuh. Hal pertama yang harus dilaluinya untuk memulai segalanya adalah penguasaan bahasa Batak, sementara satu-satunya kamus yang dimiliki Leo adalah karya Warneck.
“Sejak tiba di Pakkat, saya selalu bertanya kepada setiap orang. Ini apa, itu apa. Namun, sayang tidak setiap pertanyaan itu terjawab,” papar pria bernama lengkap Leonardus Egidius Joosten ini.
Setiap kata yang tidak dimengerti lalu dia catat dalam secarik kertas kecil yang selalu dibawanya. Setiap malam, kata-kata itu dia kumpulkan dan dia susun dengan penuh ketekunan. Kemudian kata-kata itu ditambahkan pada kamus Batak Toba-Belanda karangan Warneck.
Sejak tahun 1983 Pater Leo mulai menyusun kosa kata yang sudah dia kumpulkan itu. Selama lima tahun kamus penyempurnaan dari karya Warneck itu dikerjakannya sampai diterbitkan tahun 2001.
Kamus karya Leo itu lalu merupakan salah satu dari kamus-kamus bahasa Batak yang pernah ada di Indonesia. Salah satu kamus bahasa Batak yang dikoleksi Pater Leo adalah kamus bahasa Batak yang ditulis HN Van der Tuuk dengan judul Bataksch Nederduitsch Woordenboek dalam aksara Batak asli.
SELAIN kamus, dengan pengetahuannya tentang Batak yang luas, Pater Leo juga menyusun buku silsilah masyarakat Batak dari beragam marga yang digunakan dalam komunitas Batak Toba. Buku karyanya yang lain adalah tentang komunitas Batak berjudul Samosir, Selayang Pandang dalam tiga bahasa: Inggris, Belanda, dan Indonesia.
Pater Leo mengatakan, buku-buku karyanya itu memang sengaja tidak dibuat bagi kalangan akademikus karena disusun bergaya populer agar mudah dipahami dan lebih mudah diterima orang kebanyakan. Sebagian besar konsumen bukunya turis mancanegara yang datang ke Pulau Samosir.
Namun, Leo tidak berhenti pada pembuatan buku. Ketika bertugas di Pangururan, Samosir, Pater Leo mulai merintis pembangunan gedung gereja bergaya rumah tradisional Batak serta museum budaya Batak.
“Kala itu banyak orang menentang. Mereka mengatakan, ‘Mengapa menyimpan segala sesuatu yang berhubungan dengan mistik dan berhala?’ Namun, saya terus maju. Alasan saya, agar semua warga ingat akan tradisi iman awal mereka. Semua itu merupakan rekaman bagaimana mereka dahulu coba menemukan yang Ilahi,” papar Pater Leo yang merupakan anak kedelapan dari sebelas bersaudara keluarga petani di Eindhoven, Belanda.
Ia mengakui, para misionaris sebenarnya turut berperan pada mundur dan pudarnya sebuah budaya tempat mereka bekerja. Menurut dia, selama ini terlalu banyak bangunan gereja dibuat dengan arsitektur gaya Jerman. Padahal, rumah adat Batak memiliki banyak simbolisme yang kental dengan nuansa teologis. Saat ini sulit sekali menemukan rumah-rumah asli Batak.
Untuk menyelaraskan gereja berbentuk rumah tradisional Batak dengan isinya, Leo menyusun buku perayaan misa berbahasa Batak. Dibantu rekan-rekan mudanya seperti Pater Masseo Situmorang, mereka coba melestarikan lagu-lagu bernuansa Batak Toba ke dalam upacara liturgi gereja Katolik. Dan, atas “kebatakannya” itu, Pater Leo telah mendapat marga Batak Simbolon.
***
SAAT ini Pater Leo tinggal di Kabanjahe yang notabene bukanlah wilayah Batak lagi. Selain merupakan ibu kota Kabupaten Karo, Kabanjahe adalah salah satu pusat kebudayaan dan masyarakat Karo.
Bukanlah Leo kalau lalu diam saja di tempat barunya. Bersama para kolega, dia merintis liturgi inkulturatif yang memasukkan nuansa Karo dalam liturgi gereja. Selain itu, mereka juga mengadakan berbagai lokakarya tentang budaya Karo. Inisiatif itu mendapat sambutan baik dari Pemerintah Kabupaten Karo.
“Harapan kami, budaya Karo tetap hidup dalam arus dunia. Sayang jika ornamen dan simbol budaya baru seperti keyboard ala Parbaungan mengikis akar budaya asli masyarakat Karo,” papar Pater Leo.
Saat ini Pater Leo tengah menggarap kamus bahasa Batak Karo-Indonesia. Kamus itu telah dia kerjakan selama dua tahun. Menurut perkiraannya, kamus itu akan rampung dan bisa dipublikasikan dua tahun lagi.
Masyarakat Karo jelas antusias pada segala tindakan Leo yang melebihi kebanyakan orang Karo sendiri dalam menyelamatkan budaya lokal. Tidaklah berlebihan bila masyarakat Karo lalu mengangkatnya menjadi warga Karo dengan marga Ginting.
Akhirnya, bagi Leo Joosten, kecintaan pada budaya apa pun telah menjadi bagian dari seluruh panggilan hidupnya. Dia percaya, jika sebuah budaya mulai luntur, sifat dan cara bertindak seseorang pada budaya itu dapat berubah.


Salam : Kesain Rumah Derpih
Share:


Recent Posts