Di kawasan
Berastagi di Tanah Karo terdapat satu tempat yang dinamakan Buluh Duri, di
tempat itu terdapat tujuh mata air. Menurut cerita yang berkembang, tempat yang
bernama Buluh Duri itu pada zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang
putra raja. Alkisah pada masa itu, di daerah Simalungun yang berbatasan dengan
Tanah Karo terdapat sebuah kerajaan dengan rajanya bermarga Purba. Semenjak
putra bungsunya lahir, Raja ini sering mengalami sakit-sakitan, banyak dukun
yang sudah mengobatinya tetapi penyakit raja ini tak juga kunjung sembuh.
Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari
negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya.
Dengan menggunakan kesaktian
mereka para guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil
pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan
malapetaka selama ini. Untuk menghindarkan malapetaka itu, maka putra bungsu
harus dibuang. Untuk itu, mereka lalu pergi membawa putra bungsu Raja Purba
yang sudah beranjak remaja jauh ke tengah hutan belantara.
Di dalamnya, mereka kemudian
membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal putra raja itu. Setelah gubuk selesai
didirikan, Para guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian.
Tetapi ketika mereka akan pergi, para guru Pakpak ini lebih dahulu memberikan
panah, pedang, dan pisau kepada putra Raja Purba itu. Setelah itu mereka
menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk.
Dari ketujuh tempat itu
muncullah tujuh mata air bening. Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu
Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk itu. Tempat
itulah yang hingga sekarang dikenal dengan nama Buluh Duri.
Setelah
beberapa tahun putra Raja Purba tinggal di tempat Pembuangannya, di tengah
hutan belantara, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan dia melihat seekor burung
yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Iapun mengejar burung itu untuk
menangkapnya, tapi burung itu terus terbang, ke mana saja burung itu terbang
terus dikejarnya. Ketika sedang mengejar burung itu, ia bertemu dengan seorang
gadis yang sangat cantik. Gadis itu sedang duduk dekat sebuah mata air sambil
mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Si pemuda sangat terkejut dan
heran melihat gadis cantik itu berada sendirian di tengah hutan. Di samping
itu, dia merasa gembira pula karena sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah
bertemu dengan manusia lain.
Dengan hati berdebar-debar,
dihampirinya gadis cantik itu. Sambil tersenyum gadis itu menanyakan apa maksud
kedatangannya ke tempat itu. Mendengar pertanyaan gadis cantik itu si pemuda
kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu hendak menangkap seekor
burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua
pertanyaan gadis itu dijawab oleh si pemuda. Dengan demikian tahulah si gadis
bahwa si pemuda berasal dari daerah Simalungun, dan putra raja bermarga Purba.
Setelah lama bercakap-cakap berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda
pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu dan
mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di
dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis
itu ditemukan si pemuda.
Beberapa saat setelah mereka
memasuki gua tempat tinggal si gadis, tiba-tiba si pemuda terkejut dan hendak
melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya.
Gadis itu lalu menahan si pemuda supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian
tampak pula olehnya burung yang dikejar-kejarnya tadi sedang bertengger di
dekat ular yang besar itu. Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular
besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa si pemuda
masuk.
Tak lama kemudian, si gadis
menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan
burung itu terus memperhatikan si pemuda maka ia menjadi kebingungan. Melihat
hal itu si gadis lalu menjelaskan kepada si pemuda bahwa ular besar itu adalah
ibunya, dan burung yang berwarna-warni bulunya itu adalah ayahnya. Selanjutnya,
dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang
sengaja memancing perhatian si pemuda agar mengejarnya sampai ke tempat si
gadis.
Mendengar penjelasan gadis
itu, si pemuda bertanya mengapa ayahnya yang berupa burung itu berbuat
demikian. Si gadis menjelaskan bahwa kedua orang tuanya ingin agar ia kawin
dengan si pemuda. Mendengar hal itu si pemuda sangat terkejut, kemudian si
gadis bertanya apakah si pemuda bersedia memenuhi keinginan kedua orang tuanya
itu. Si pemuda mengatakan bahwa ia bersedia.
Setelah pemuda yang bermarga
purba itu mengawini si gadis, kedua orang tua istrinya lalu menganjurkan mereka
agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Tak lama kemudian
pergilah mereka mencari perkampungan. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya
sampailah mereka ke satu kampung yang bernama Kaban. Kampung itu dihuni orang
Karo bermarga Sinukaban dan Ketaren. Orang-orang di kampung itu menerima
keduanya dengan suka rela dan menganjurkan mereka agar menemui kepala kampung
untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah mereka bertemu dengan
kepala kampung, mereka kemudian mohon izin agar diperkenankan mendirikan rumah
di perkampungan tersebut.
Mendengar permohonan itu,
kepala kampung menyetujui dan menganjurkan agar mereka mendirikan rumah ke arah
hilir kampung Kaban. Dalam bahasa Karo arah hilir disebut “njahe”. Sesuai
dengan anjuran kepala kampung itu, pergilah mereka mendirikan rumah di njahe
atau di arah hilir kampung Kaban. Setelah mereka mendirikan rumah dan menetap
di sana, lama kelamaan tempat itu berkembang menjadi kampung yang bernama Kaban
Jahe.
Mereka kemudian memperoleh
enam anak lelaki (dilaki) dan satu anak perempuan (diberu). Keenam putranya itu
disebut Purba Si Enam, dari merekalah berkembang marga Purba di Tanah Karo yang
kemudian menggabungkan diri ke dalam marga Karo-Karo. Dari keturunan marga
Purba yang beristerikan ular ini kemudian melahirkan marga Sekali, Sinuraya,
Sinuhaji, Jong, Sikemit, Samura, dan Bukit.
Sekali mendirikan kampung
Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa. Sinuraya dan Sinuhaji mendirikan
kampung Seberaya dan Aji Siempat yakni Aji Jahe, Aji Mbelang, dan Ujung Aji.
Jong dan Kemit mendirikan kampung Mulawari. Adapun marga Samura mendirikan
kampung Samura dan Bukit mendirikan kampung Bukit. Hingga kini mereka yang
tergolong sebagai marga Purba tidak boleh mengganggu atau membunuh ular, karena
mereka sangat percaya bahwa nenek moyang mereka yang perempuan adalah keturunan
ular.
Versi lain menyatakan Purba
juga memperisterikan seorang puteri umang, dari hasil perkawinan keduanya
menurunkan marga Purba (sebagaimana ayahnya), Ketaren, dan Sinukaban. Marga
Purba ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata. Menurut riwayat
dahulu merga Karo-Karo Purba memakai merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti
karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren.
Budayawan Karo, M.Purba mengatakan, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa
Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Male
Disusun Oleh:
Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar