Menurut
cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou.
Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah
cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera
Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si
Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega
melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri.
Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan sang abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh
penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Sibou
menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di
Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang
anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang
laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama
Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan
bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami
sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa
lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus
bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya
yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik
perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat.
Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik
dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang
gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik.
Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai
berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia
memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri,
karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh
memanggil adiknya.
“Ada
apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh
bibi. Kita sekarang sudah
dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban
untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi
merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku
sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik
di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera
kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan
berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh
keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada
bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat
sedih. Ia merasa telah kehilangan
segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara
satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya.
Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali
dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia
tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara
itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan
berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan
memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian
itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah
sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena
terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia
pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi,
lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si
Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu
hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang
sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia
pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan
tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum
juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou
bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada
yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan
abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh …? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah
bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah
mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda
yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada
sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana
letak negeri itu. Tapi kalau boleh,
Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi.
Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil
memanggil nama abangmu. Barangkali ia
bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang
Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya
hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera
bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung
abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan
berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa.
Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan
tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua
tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia
melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh
anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung
abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou,
tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun
dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi
pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau
nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma
menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah
kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari
daerah Sumatera Utara. Hingga
kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru
Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk
Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan
lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat
teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah
memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat
buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang
rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat
menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia
rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang
dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal
ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa
abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran
yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Salam : Kesain
Rumah Derpih