Legenda Lau Kawar
merupakan sebuah legenda yang berkembang di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Kabupaten yang memiliki wilayah seluas 2.127,25 km2 ini terletak di dataran
tinggi Karo, Bukit Barisan, Sumatera Utara. Oleh karena daerahnya te...rletak
di dataran tinggi, sehingga kabupetan ini dijuluki Taneh Karo Simalem.
Kabupaten ini memiliki iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai
17C dan tanah yang subur. Maka tidak heran, jika daerah ini sangat kaya dengan
keindahan alamnya. Salah satunya adalah keindahan Danau Lau Kawar, yang
terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Air yang
bening dan tenang, serta bunga-bunga anggrek yang indah, yang mengelilingi
danau ini menjadi pesona alam yang mengagumkan.
Menurut
masyarakat setempat, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau yang indah, Danau
Lau Kawar adalah sebuah desa yang bernama ‘Kawar’. Dahulu, daerah tersebut
merupakan kawasan pertanian yang sangat subur. Mata pencaharian utama
penduduknya adalah bercocok tanam. Hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah,
meskipun tidak pernah memakai pupuk dan obat-obatan seperti sekarang ini. Suatu
waktu, terjadi malapetaka besar, sehingga desa Kawar yang pada awalnya
merupakan sebuah desa yang subur menjelma menjadi sebuah danau.
Apa
sebenarnya yang terjadi dengan desa Kawar itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti
kisahnya dalam cerita rakyat berikut ini! Pada zaman dahulu kala tersebutlah
dalam sebuah kisah, ada sebuah desa yang sangat subur di daerah Kabupaten Karo.
Desa Kawar namanya. Penduduk desa ini umumnya bermata pencaharian sebagai
petani. Hasil panen mereka selalu melimpah ruah. Suatu waktu, hasil panen
mereka meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka
penuh dengan padi. Bahkan banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan
hasil panen. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun
bergotong-royong untuk mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara
adat.
Pada
hari pelaksanaan upacara adat tersebut, Desa Kawar tampak ramai dan semarak.
Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta perhiasan yang
indah. Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam masakan untuk dimakan
bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara juga dimeriahkan dengan
pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang
hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta
tersebut, kecuali seorang nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh.
Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara
itu. Tinggallah nenek tua itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya.
“Ya, Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini.
Jangankan berjalan, berdiri pun aku sudah tak sanggup,” ratap si nenek tua
dalam hati. Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa membayangkan betapa meriahnya
suasana pesta itu. Jika terdengar sayup-sayup suara Gendang Guro-guro Aron
didendangkan, teringatlah ketika ia masih remaja. Pada pesta Gendang Guro-Guro
Aron itu, remaja laki-laki dan perempuan menari berpasang-pasangan. Alangkah
bahagianya saat-saat seperti itu. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan di
masa muda si nenek. Kini, tinggal siksaan dan penderitaan yang dialami di usia
senjanya. Ia menderita seorang diri dalam kesepian. Tak seorang pun yang ingin
mengajaknya bicara. Hanya deraian air mata yang menemaninya untuk menghilangkan
bebannya. Ia seakan-akan merasa seperti sampah yang tak berguna, semua orang
tidak ada yang peduli padanya, termasuk anak, menantu serta cucu-cucunya.
Ketika
tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang hadir dalam pesta tersebut
berkumpul untuk menyantap makanan yang telah disiapkan. Di sana tersedia daging
panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang masih hangat. Suasana yang sejuk
membuat mereka bertambah lahap dalam menikmati berbagai hidangan tersebut. Di
tengah-tengah lahapnya mereka makan sekali-kali terdengar tawa, karena di
antara mereka ada saja yang membuat lelucon.
Rasa
gembira yang berlebihan membuat mereka lupa diri, termasuk anak dan menantu si
nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu mereka yang sedang terbaring lemas
sendirian di rumah. Sementara itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, karena
sejak pagi belum ada sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat
mengharapkan anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun,
setelah ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang. “Aduuuh…! Perutku rasanya
melilit-lilit. Tapi, kenapa sampai saat ini anak-anakku tidak mengantarkan
makanan untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah gemetar menahan lapar.
Dengan
sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba mencari makanan di dapur, tetapi ia tidak
mendapatkan apa-apa. Rupanya, sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu,
karena di tempat upacara tersedia banyak makanan. Akhirnya, si nenek tua
terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia sangat kecewa, tak
terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya. Ibu tua itu menangisi
nasibnya yang malang. “Ya, Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega membiarkan aku
menderita begini. Di sana mereka makan enak-enak sampai kenyang, sedang aku
dibiarkan kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek tua itu dalam hati
dengan perasaan kecewa. Beberapa saat kemudian, pesta makan-makan dalam upacara
itu telah usai. Rupanya sang anak baru teringat pada ibunya di rumah. Ia
kemudian segera menghampiri istrinya. “Isriku! Apakah kamu sudah mengantar
makanan untuk ibu?” tanya sang suami kepada istrinya. “Belum?” jawab istrinya.
“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan, lalu suruh anak kita menghantarkannya
pulang!” perintah sang suami. “Baiklah, suamiku!‘ jawab sang istri.
Wanita
itu pun segera membungkus makanan lalu menyuruh anaknya, “Anakku! Antarkan
makanan ini kepada nenek di rumah!” perintah sang ibu. “Baik, Bu!” jawab
anaknya yang langsung berlari sambil membawa makanan itu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, anak itu segera menyerahkan makanan itu kepada neneknya,
lalu berlari kembali ke tempat upacara. Alangkah senangnya hati sang nenek.
Pada saat-saat lapar seperti itu, tiba-tiba ada yang membawakan makanan. Dengan
perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka bungkusan itu. Namun betapa
kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa makanan!!. Beberapa
potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya. “Ya, Tuhan! Apakah
mereka sudah menganggapku seperti binatang. Kenapa mereka memberiku sisa-sisa
makanan dan tulang-tulang,” gumam si nenek tua dengan perasaan kesal.
Sebetulnya bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di
tengah perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga
yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Si
nenek tua yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengira anak dan
menantunya telah tega melakukan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu, ia merasa
sangat sedih dan terhina. Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian
berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya itu. “Ya, Tuhan!” Mereka
telah berbuat durhaka kepadaku. Berilah mereka pelajaran!” perempuan tua itu memohon
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Baru saja kalimat itu lepas dari mulut si nenek
tua, tiba-tiba terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi
mendung, guntur menggelegar bagai memecah langit, dan tak lama kemudian hujan
turun dengan lebatnya. Seluruh penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba
menjadi panik. Suara jerit tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana.
Namun, mereka sudah tidak bisa menghindar dari keganasan alam yang sungguh
mengerikan itu.
Dalam
sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak seorang pun
penduduknya yang selamat dalam peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, desa itu
berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi air. Oleh masyarakat
setempat, kawah itu diberi nama ‘Lau Kawar’. Demikianlah cerita tentang Asal
Mula Lau Kawardari daerah Tanah Karo, Sumatera Utara.
Cerita di atas termasuk cerita
rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada tiga pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu pandai mensyukuri nikmat,
menjauhi sifat durhaka kepada orang tua, dan menyia-nyiakan amanat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar