Pada
umumnya, menurut kebiasaan masyarakat suku Karo pada jaman dahulu kala untuk
membangun suatu desa dimulai oleh seorang/ keluarga yang tentunya mempunyai
marga/ merga merantau ke satu daerah untuk membuka hutan untuk dijadikan ladang
baru. Dalam ...setiap
pembukaan ladang baru, biasanya dibangun terselbih dahulu "barung"
atau rumah darurat untuk dijadikan tempat berteduh. Pada waktu pembukaan ladang
tersebut datang seorang/ keluarga yang ber marga berbeda dari yang pertama yang
ingin membantu pembukaan ladang baru tersebut, dan selanjutnya dikuti lagi oleh
seorang yang bermarga lain, yang berarti dalam kelompok yang merintis pembukaan
ladang baru tersebut telah terdapat 3 (tiga) merga yang berbeda.
Pada waktu pembukaan perladangan tersebut
telah selesai atau dalam proses perluasan maka meraka sepakat untuk membangun
desa sehingga mereka dan keluarganya tidak perlu lagi pulang balik dari ladang
baru tersebut ke desa asalnya yang dahulu kala melewati hutan yang cukup lebat.
Tentunya sebelum tercapai kesepakatan tersebut, mereka ber-tiga berunding
(runggu) untuk menentukan siapa diantara mereka (merga) yang menjadi Kalimbubu
Tua Kesain, Sukut dan Anak Beru Tua desa tersebut.
Pada umumnya, siapa yang lebih dahulu
memulai / merintis untuk membuka hutan untuk dijadikan perladangan baru maka
merganya secara otomatis yang menjadi "Sukut" atau dalam bahasa Karo
disebut "merga simanteki kuta" atau marga yang membangun desa atau
juga yang punya desa. Jadi pada waktu penentuan sebagai Kalimbubu Tua dan Anak
Beru Tua belum ada hubungan darah ataupun silsilah karena ada perkawinan antar
ke tiga merga tersebut, yang hanya adalah hubungan kekerabatan pada umumnya
karena didasari senasib sepenanggungan.
Pembangunan desa baru tidak mutlak harus
dilakukan oleh 3 (tiga) kelompok marga (merga) seperti yang dimaksud dengan
"rakut sitelu", tapi juga dapat dilakukan hanya dengan 2 (dua) merga
yang berbeda, dimana dengan kesepakatan yang pertama membangun ladang baru maka
merganya-lah sebagai "simanteki kuta" sedangkan yang ke dua adalah
sebagai Kalimbubu, dan setelah berkembang datang merga lain yang datang
merantau ke desa tersebut untuk bergabung dan dijadikanlah sebagai Anak Beru
Tua Kesain. Agar Anak Beru-nya tersebut loyal kepada dia dan keluarganya maka
diberilah tanah garapan kepadanya agar dia dan keluarganya betah tinggal di
desa tersebut (lihat merga silima rakut sitelu tutur siwaluh). Agar hubungan
kekerabatan tersebut semakin kuat dan berakar, anak beru tersebut apabila masih
bunjangan atau ada anak laki-klakinya memperistri anak dari "merga
simanteki kuta" atau pemilik desa. Disebut pemilik desa karena merganya
dan kelompoknyalah yang biasanya memiliki ladang dan persawahan yang paling
luas dan berlokasi disekitar desa, kalaupun ada yang lebih jauh dari desa hal
ini bisa terjadi karena dilakukan perluasan perladangan/ persawahan di kemudian
hari.
Perlu dijelaskan bahwa penyebutan Kalimbubu
Tua maupun Anak Beru Tua Kampung/ Desa pada awalnya tidak mutlak telah terjalin
hubungan darah atau karena perkawinan, tapi lebih didasarari karena kesepakatan
atau penobatan antar yang membuat kesepakatan. Sedangkan merga yang secara
turun temurun atau generasi ke generasi telah memperistri merga tertentu maka
telah memenuhi syarat dijadikan sebagai Kalimbubu Tua (yang memberi dara/ anak
perempuan) maupun Anak beru Tua (yang menerima dara/ anak perempuan), hanya
penyebutan "Tua" bukan untuk kuta/ desa (kelurahan) tapi hanya untuk
Kesain (rukun warga) dan lebih terendah adalah jabu (rukun tangga). Apabila
sudah dinobatkan atau disebut "Tua" baik untuk Kalimbubu Tua maupun
Anak Beru Tua, maka penyebutan tua tersebut akan berlaku mutlak dan seterusnya
dan tidak dapat lagi diganti dengan merga lain baik oleh generasi sekarang maupun
generasi-generasi berikutnya.
Penambahan Tua hanya berlaku untuk tingkat
kesain (rukun waga) maupun jabu (rukun tangga), sedangkan untuk merga yang
telah merintis pembangunan desa/ kampung tetap abadi selamanya yang disebut
dengan "Kalimbubu Tua Kuta/ Desa" maupun "Anak Beru Tua Kuta/
Desa", sebagai wujud penghormatan kepada leluhur merga yang telah merintis
dalam pembangunan desa tersebut. Walaupun demikian, terdapat banyak desa yang
ada di Taneh Karo (bukan hanya di Kabupaten Karo) pada saat ini yang tidak mutlak
karena di bangun oleh merga-merga tertentu seperti diuraikan tersebut di atas,
karena banyak juga desa/ kampung yang tidak diketahui dengan pasti merga apa
yang pertama yang telah merintis dan membangun desa tersebut.
Adapun contoh desa yang tidak jelas merga
yang merintisnya adalah desa "Payung" Kecamatan Payung, Kabupaten
Karo, dimana pada waktu itu desa ini belum berkembang seperti sekarang. Karena
pada waktu itu lokasinya di jalan raya yang menghubungan Kabanjahe (ibu kota
Kabupaten Karo) dengan desa Kuta Bulu yang tidak jauh dari perbatasan dengan
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, maka banyak berdiri kedai kopi dilokasi
tersebut, Karena mobilitas penduduk semakin tinggi akhirnya lokasi tersebut
lebih banyak berdiri kedai kopi dan juga pembangunan rumah untuk keluarganya
dan seterusnya berkembang menjadi desa walaupun tidak diketahui dengan jelas
merga mana yang merintisnya menjadi desa, karena didesa tersebut banyak dihuni
oleh merga Bangun dan Sembiring Pandia. Kejadian yang terbaru adalah desa "Sebintun"
yang lokasinya sebagai pintu masuk ke desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat
Kabupaten Karo yang tahun 1960 hanya tempat persinggahan atau tempat
permberhentian untuk menunggu bus ke arah Kabanjahe maupun Kuta Buluh. Karena
bus yang berangkat dari Berastepu ke Kabanjahe atau daerah lainnya terbatas
yang hanya dilayani oleh bus PO. Sinabung Jaya 2 (dua) kali sehari itupun pada
hari pekan/ pasar di Tiga Nderket (hari Kamis), Berastagi (hari Rabu dan Sabtu)
dan Kabanjahe (hari Senin dan Kamis) , banyak penduduk desa Berastepu, Gamber
dan Kuta Tengah yang harus berjalan kaki ke jalan raya tersebut yang kesiangan
untuk menunggu bus ke arah Kutabuluh maupun Kabanjahe. Akhirnya lokasi yang
dulunya hanya tempat pemberhentian bus dengan faslitas kedai kopi yang dibangun
masyarakat setempat, pada saat ini telah berkembang seperti awal berdirinya
desa Payung dan sekarang telah mengarah sebagai salah satu desa baru, dimana
desa tersebut tidak jelas siapa sebagai kalimbubu Tua Kuta, Sukut maupun Anak
Beru Tua, karena penduduknya tidak hanya bermarga Sembiring Meliala maupun
Sitepu yang merupakan merga yang merintis pembangunan desa Berastepu, tapi juga
telah berbaur dengan merga maupun sub merga lainnya yang ada di masyarakat suku
Karo.
Menurut sejarah, kampung/ desa Gurukinayan
pertama sekali dibangun oleh seorang dukun (guru mbelin) bernama Guru Nayan
yang berasal dari desa/ kampung Kubucolia. Beliau sering meninggalkan kampung
Kubucolia menyelusuri kaki gunung Sinabung untuk melakukan pengobatan ke
berbagai tempat mengingat dia mempunyai ilmu atau kemampuan untuk mengobati
(sebagai guru mbelin).
Orang tua dari Guru Nayan bernama Colia,
dan di masyarakat keturunannya mengikuti garis keturunan ayah maka semua diberi
marga Sembiring Colia kemudian Bapak Colia mempunyai 3 orang anak yang semua
laki-laki dan dikenal dengan "nini
sitelu (3)" atau tiga kakek leluhur yaitu bernama :
1.
Guru Nayan Sembiring Colia (akhirnya mendirikan kampung Gurukinayan).
2.
Guru Nebek Sembiring Colia (meninggalkan Kubucolia menuju kampung
Seberaya).
3.
Guru Pagar Batak Sembiring Colia (tetap tinggal di Kubucolia).
Guru Nayan Sembiring Colia yang mendirikan
desa Gurukinayan bersama merga Sitepu dan Ginting, keturunannya tetap memakai
merga Sembiring Colia sebagai penghormatan dan agar generasinya akan tetap
mengingat dan mengenang bahwa mereka berasal dari desa Kubucolia, sehingga
sampai dengan tahu 1960 semua merga Sembiring di desa Gurukinayan tetap memakai
merga Sembiring Colia.
Salah satu contoh adalah Alm. Kueteh
Sembiring ( Pa Bas Ukurta) yang tamatan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
pada Tahun 1960 dalam Ijazahnya namanya tercantum "Kueteh Sembiring
Colia". Walupun jarak desa antara desa Kubu Colia dengan desa Guruknayan
cukup jauh untuk ukuran genersi perintis tersebut karena sarana hubungan antar
desa tersebut dahulu kala hanya dengan berjalan kaki dan melewati hutan lebat,
hubungan kekerabatan tersebut sampai saat ini tetap terjaga dan berjalan dengan
baik, dalam arti apabila ada hajatan di desa Kubu Colia mereka masih tetap
mengundang saudaranya dari desa Gurukinayan dan demikian juga sebaliknya.
Akan tetapi semenjak tahun 1970, karena
pertambahan penduduk desa Gurukinayan semakin besar dengan tingkat kelahiran
yang cukup tinggi dimana antara lain setiap keluarga memiliki anak paling tidak
5 (lima) anak maka semua penduduknya yang tadinya memakai merga Sembiring Colia
berubah menjadi Sembiring Gurukinayan yang berarti menunjukkan bahwa mereka
memang berasal dari desa Gurukinayan.
Dalam adat istiadat masyarakat suku Karo,
hal tersebut sah-sah saja dan merupakan hal yang biasa dilakukan untuk lebih
menunjukkan identitas diri atau kelompok desanya yang juga merupakan kebanggaan
tersendiri bagi desanya, walaupun demikian dalam acara adat istiadat mereka
tetap bersatu dan bersama dalam satu kelompok dengan sub merga asal (leluhur)
merganya. Hal ini dapat di lihat dengan merga Surbakti yang merupakan bagian
dari merga Karo-karo, karena telah membentuk / membangun desa Surbakti dan
berkembang membuat mereka membentuk submerga sendiri berdasarkan asal desanya
menjadi merga Surbakti, yang walaupun demikian tetap merupakan bagian dari
kelompok besar merga Karo-karo.
Demikian juga selanjutnya, merga Surbakti
yang merantau dan membangun desa Torong di Kecamatan Simpang Empat kabupaten
Karo, yang tidak terlalu jauh dari desa Surbakti, pada beberapa puluh tahun
belakangan ini telah menunjukkan identitas jati dirinya menjadi merga
"Torong" yang berasal dari desa Torong, yang juga tetap merupakan
bagian dari sub merga Surbakti dan merga Karo-karo. Dalam kehidupan sehari-hari
baik dalam pelaksanaan adat istiadat khususnya di Taneh Karo dan sekitarnya
penyebutan Sembiring Colia tetap digabung dengan Sembiring Gurukinayan dengan
sebutan Sembiring Colia Gurukinayan baik dalam acara pesta perkawinan maupun
prosesi adat kematian dan lain sebagainya, yang semua ini menunjukkan bahwa
merga Sembiring Colia dengan Sembiring Gurukinayan adalah saudara kandung.
Hal ini dapat dilihat dalam tingkat
kedudukan adat antara Sembiring Colia dan Sembiring Gurukinayan, dimana karena
leluhurnya (kakeknya) bernama Colia Sembiring yang memiliki tiga anak, dimana
anak sulungnya merantau ke gunung Sinabung bernama Guru Nayan Sembiring Colia
yang mempunyai keahlian untuk mengobati orang yang sakit (guru mbelin/ dukun
besar) dan membangun desa Gurukinayan, maka semua keturunannya akhir dalam
tingkat adat masyarakat suku Karo menjadi rendah, sedangkan keturunan dari
saudaranya Guru Nebek Sembiring Colia (yang mendirikan/ membangun desa
Seberaya) dan saudara bungsunya bernama Guru Pagar Batak Sembiring Colia yang
tetap tinggal di Kubucolia, maka tingkat kedudukannya dalam adat bila
dibandingkan khusus dengan saudaranya yang tinggal di desa Gurukinayan semakin
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan yaitu anak yang seumur antara Sembiring Colia
(anak bungsu) dan Gurukinayan (anak sulung) dalam tingkat adat, merga Sembiring
Gurukinayan harus memanggil bapak/ kakek kepada saudaranya yang bermarga
Sembiring Colia, padahal mereka masih sebaya atau kadang kala yang bermarga
Gurukinayan jauh lebih tua tapi sudah harus memanggil bapak/ kakek kepada yang
jauh lebih muda, itulah adat masyarakat suku Karo.
Guru Nayan Sembiring Colia mempunyai anak
laki-laki bernama Pa Kilap Sembiring Colia, dan selanjutnya Pa Kilap memiliki 2
(dua) anak laki-laki, yang anak tertua akhirnya tinggal di desa Jandimeriah,
sedangkan anak bungsunya tetap tinggal di desa Gurukinayan. Anak tertuanya
(sulung) yang tinggal di desa Jandimeriah memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu :
1. Ninggep Sembiring Colia.
2. Taneh Sembiring Colia.
3. Kelang Sembiring Colia.
Sedangkan anak bungsunya (muda) yang tetap tinggal di desa Gurukinayan
memiliki 3 (tiga) oang anak yaitu :
1. Pa Lantak Sembiring Colia.
2. Pa pangguhen Sembiring Colia.
3. Pa Makul Sembiring Colia.
Keenam cucu dari Guru Nayan Sembiring Colia tersebut sering disebut
"nini si enem" atau "kakek yang enam".
Desa Gurukinayan merupakan gabungan dari 3
(tiga) desa kecil yaitu desa :
1.
Kutambaru, Terletak di Jumalepar, mulai dari sebintun sampai perbatasan
Payung, dimana setelah desa Gurukinayan terbentuk, penduduk dari desa Kutambaru
ini menjadi "Kesain Rumah Julu" yang berlokasi mulai dari los/jambur/
gedung pertemuan desa sampai kearah Timur (kenjulu), yang disebut dengan
"silima (5) indung" (lima kakek leluhur).
2.
Kuta Suah. Terletak di sebelah Selatan kampung Gurukinayan sekarang
ini, dengan pemandian Lau Melas dihuni marga Karo-karo Sitepu yg semula berasal
dari Sigarang-garang. Setelah kampung Gurukinayan terbentuk maka penduduk
kampung Kutasuah ini mendiami "Kesain Ulunjandi" yang juga terdiri
dari "silima (5) indung" (lima kakek leluhur).
3.
Kuta Jahe dan Kembilik Terletak di sebelah Barat kampung Gurukinayan
sekarang ini dengan permandian Lau Perka-perka (Lau Pirik). Kampung ini dihuni
oleh Sembiring Pelawi dan keturunan Guru Nayan yang kawin dengan beru Bangun
dari Batukarang. Setelah kampung Gurukinayan didirikan penduduk Kutajahe dan
Kembilik ini menempati "Kesain Rumah Tengah" yang berlokasi mulai
dari los/jambur/ gedung pertemuan desa sampai kearah Utara dan Barat, yang
disebut dengan "sipitu (7) indung" (tujuh kakek leluhur).
Kesain adalah bagian dari desa / atau
kelurahan di pulau Jawa pada umumnya setingkat Rukun Warga, dimana pada umumnya
desa yang terdapat di Taneh Karo (bukan hanya Kabupaten Karo) di provinsi
Sumatera Utara terdapat beberapa "kesain/ rukun warga" yang di bagi
dapat berdasarkan merga maupun sub merga atau kelompok merga yang membentuk
koloni sendiri dalam desa, dimana hal ini dimungkinkan pada waktu pertama kali
desa di bangun/ dibentuk "leluhurnya/ merganya" merupakan salah satu
perintis pembangunan desa tersebut.
Sedangkan Jabu/ rumah, adalah bagian dari
Kesain yang di desa/ kelurahan di pulau Jawa pada umumnya setingkat dengan
Rukun Tangga, dimana pada umumnya kelompok yang sudah memiliki hubungan darah
yang karena pertambahan anggota keluarga meningkat dengan signifikan maka
mereka membentuk sub.koloni dalam koloni yang ada di desa tersebut, misalnya
Kesain Rumah Pudung (rukun tangga) adalah bagian dari kesain Rumah Tengah (rukun
warga) di desa Gurukinayan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat "Terombo /
Silsilah Kesain Rumah Pudung Sembiring Gurukinayan, Rumah Tengah di Desa
Gurukinayan" DISINI" Adapun
Kesain yang terdapat di desa Gurukinayan, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 3 (tiga) kelompok besar yaitu sebagai
berikut :
A. KESAIN RUMAH JULU
B. KESAIN RUMAH TENGAH
C. KESAIN ULUJANDI
Di desa Gurukinayan juga terdapat Kesain di
luar merga Sembiring Gurukinayan yang dihuni oleh merga Sitepu yang berasal
dari desa Sigarang-garang yang berlokasi disebelah selatan desa Gurukinayan
atau Kuta Suah yang disebut dengan Kesain Ulunjandi.
Karena pertambahan merga Sitepu cukup
signifikan maka merga ini membentuk 5 kelompok keluarga atau disebut dengan si
5 (lima) indung atau kakek yaitu sebagai berikut :
1. Rumah Sendi : Salah satu keturunannya
adalah Pa Medang Sitepu.
2. Rumah Balai : Salah satu keturunannya
adalah Pa Diken Sitepu.
3. Rumah Pa Bena : Salah satu keturunannya
adalah Pa Bena Sitepu.
4 .Rumah Pa Gitar : Salah satu keturunannya
adalah Pa Gitar Sitepu.
5. Rumah Pa Darma : Salah satu keturunannya
adalah Pa Darma Sitepu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar