Peranan
Kiras Bangun/ Garamata di Tengah Masyarakat Karo Kiras Bangun lahir di
Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya
dan tutur bahasa yang simpatik. Masyarakat menamakan beliau Garamata yang
bermakna “Mata Merah”.
Masa
mudanya ia... sering pergi dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian
kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima
serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik. Pemerintahan
yang ada pada masa itu disebut pemerintahan Urung dan Kampung yang berdiri
sendiri/otonomi. Jalannya roda pemerintahan dititikberatkan pada norma-norma
adat. Tidak jarang pula terjadi sengketa antar Urung dan antar Kampung dengan
motif berbagai macam persoalan. Pihak-pihak yang bertikai, acap kali mengundang
Garamata turut memecahkan persoalan.
Dengan
sikap jujur, berani dan bertanggung jawab Garamata bertindak tegas tetapi arif
dan bijaksana, berlandaskan semboyan “Rakut Sitelu” (Kalimbubu, Sembuyak dan
Anakberu) yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bertindak
beliau selalu berpegang teguh pada prinsip membenarkan yang benar, tidak
berpihak, menyebabkan berbagai sengketa dapat diredakan secara damai yang
memuaskan semua pihak. Simpati masyarakat tidak terbatas dikawasan Tanaha Karo
saja, melainkan meluas sampai ke daerah tetangga seperti: Tanah Pinem Dairi,
Singkil Aceh Selatan, Alas Gayo Aceh Tenggara, Langkat dan Deli Serdang.
Hubungan dengan daerah–daerah tersebut terpelihara serasi, terlebih-lebih
kegigihan perlawanan rakyat Aceh Selatan dan Aceh Tenggara terhadap penjajah
Belanda, dikagumi dan dipantau secara berlanjut. Latar Belakang Ekspansi
Belanda ke Tanah Karo Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur
yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet.
Belanda
ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar
Binjai telah habis ditanami. Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau
sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo.
Disamping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan
kebun Belanda dimana banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada
diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor. Kepopuleran Kiras
Bangun/ Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih
jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk
itu timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar
dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan. Persetujuan
Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata.
Tawaran Belanda demikian mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar
ditebak apalagi Tanah Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan. Timbulnya
Permusuhan dengan Belanda Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari
Binjai ke Tanah Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak.
Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo
sebagai berikut:
Keinginan
Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling
menghargai dan menghormati.
Keinginan
Belanda untuk memasuki Tanah Karo ditolak. Belanda tidak perlu campur dalam
soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat
mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.
Keinginan
Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume
bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo setelah
sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.
Garamata
memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo tetapi
Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja sama dengan beberapa
Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe. Sejak
pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda. Menggalang Kekuatan
Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh Aceh
Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan. Kemudian
Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi tentang keinginan
Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan, yang merupakan tindakan
memaksakan kehendaknya.
Dari
tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu
Garamata. Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak
Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe.
Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan. Pertemuan
Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk
menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung
serta melaksanakan rencana-rencana. Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam
pengarahannya membentuk pasukan Urung dan mengadakan benteng pertahanan di
tiap-tiap Urung.
Persenjataan
pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah
terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian upaya
menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan bersatu sembari
kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata dan pengikut-pengikutnya
yang setia. Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu
mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia melawan
Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang menggemuruh.
Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar pertemuan Jeraya
Surbakti. Intervensi Belanda di Seberaya Membangkitkan Kemarahan Garamata Pada
tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan
Dairi menuju Medan.
Dalam
perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung
Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan
Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa
Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang. Perisitiwa berdarah di beberapa tempat
merupakan petunjuk bagi tokoh Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak
kedaulatan rakyat Karo. Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud
kedatangan Belanda ke Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata
memastikan bahwa perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang
ke Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.
Batukarang Jatuh Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng
pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan
Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu
(Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan
di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.
Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk kedua
kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse Belanda lebih
banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari sebelumnya.
Patroli-patroli
Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya
tembak-menembak. Dimaklumi memang bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung
terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan
masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata
pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang petuem yang terbatas tidak
mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang
dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak
Simbisa/Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan. Satu
demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh,
seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pimpinan
pasukannya tewas tertembak.
Sementara
benteng pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke
garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904)
dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep
merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa
membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang
diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3
km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal. Negeri
sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran serangan
mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd. Releng br
Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata dan pasukannya
menduduki Singgamanik dan sekitarnya. Liren dan Sekitarnya Jadi Basis
Perlawanan Walaupun pasukan Simbisa/Urung sudah berpencar, keesokan harinya
ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul. Pasukan Belanda terus
melakukan pengejaran, maka pasukan Simbisa/Urung berangkat menuju Liren, Kuta
Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal sebagai basis pertahanan.
Dijelaskan
bahwa daerah ini termasuk Dairi yang berbatasan dengan aceh Selatan, Aceh
Tenggara dan Tanah Karo. Medannya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan
terjal, kurang subur, berpenduduk jarang sehingga cocok menjadi basis gerillya
tetapi lemah dalam dukungan logistik. Sebagai daerah penyingkiran semua rencana
diatur dari basis ini baik untuk kontak hubungan dengan daerah tetangga maupun
mengganggu patroli-patroli Belanda yang secara rutin melewati Liren dan daerah
sekitarnya. Perang Gerilya Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan
Simbisa/Urung membuat pesan dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan
melawan Belanda dimana saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi
aras, aras bisa jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya
sekarang kita kalah, besok kita menang. Pada kesempatan lain Garamata berangkat
ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi
tidak ketemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara
sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus.
Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali ditengah jalan ketemu dengan
marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.
Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak
lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya
dan diatur bersembunyi dalam satu rumah. Sementara itu Garamata dipersiapkan
menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi
pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda.
Opportinuteits
Beginsiel Pendudukan Belanda atas Batuk arang dengan mengerahkan sebanyak 200
orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan.
Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal. Betapapun
usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak
berhasil sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka
jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip blasting, menjalankan roda pemerintahan
selalu terganggu/tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits
beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.
Mengingat
banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi
buta seperti peristiwa di Kuta Rih disamping itu disadari bahwa pasukan tidak
dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama
disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana
Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding
untuk mengambil keputusan.
Dengan
pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban lebih banyak
maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel diterima dengan berat hati
dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit
kembali mengusir Belanda. Ternyata Belanda tidak mentaati tawaran sendiri
karena Garamata tetap dihukum dalam bentuk pengasingan di salah satu tempat di
perladangan Riung selama 4 tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar