Bagot,
dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren atau enau. Sugar Palm, Aren Palm atau
Gomuti Palm dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Jawa disebut pohon aren, orang
Sunda menyebut enau atau kawung. Di pulau Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan
berbagai sebutan, diantar...anya, nau atau enau, hanau, peluluk, biluluk, kabung,
juk atau ijuk, dan bagot.
Tumbuhan
ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada
daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah pantai s/d 1400 meter
dpl (= diatas permukaan laut). Tumbuhan ini masuk dalam spesies Arenga pinnata.
Tumbuhan ini terdapat di Asia Tenggara sampai Papua bagian Timur, Jepang (Pulau
Ryukyu), Vietnam (Annam) dan Himalaya Timur.
Tumbuhan
enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer
sebagai tanaman serba-guna setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak
(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara.
belulukTumbuhan ini terdapat di Asia Tenggara sampai Papua bagian Timur, Jepang
(Pulau Ryukyu), Vietnam (Annam) dan Himalaya Timur.
Tumbuhan
enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer
sebagai tanaman serba-guna setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak
(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara.
Dalam
tradisi orang Batak, tuak juga dipergunakan pada upacara-upacara tertentu,
seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu,
tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas
tambak orang-orang yang sudah bercucu yang telah meninggal dunia. Sementara
dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang
mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh
anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak (nira) memiliki fungsi yang amat
penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak? Menurut cerita, pohon enau
merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan
gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan
masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara.
Cerita
itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak
tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu
negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan
sang abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara
Beru Sibou menolong abangnya? Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa
yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri
bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang
laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama
Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia. Namun,
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah
tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal
suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari
untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil.
Oleh
karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya
meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini
menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki
sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya,
adik dari ayah mereka. Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda
yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang
cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran
dewasa.
Oleh
karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil
keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi
orang tua asuhnya. “Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru. “Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi.
Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban
untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah
nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya. “Tapi,
bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya. “Adikku! Kamu di sini saja
menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan
segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya. “Baiklah,
Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru
mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati. “Tentu, Adikku!” kata Tare
dengan penuh keyakinan.
Keesokan
harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat
untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih.
Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai
saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun
meninggalkannya.
Gadis
itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang
banyak. Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia
menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan
abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu,
Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan
berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat
banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya
sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah
itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul
pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan.
Oleh
karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang
kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami
kekalahan. Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat
melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu
hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan
prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang.
Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu
di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa
arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun
belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor
ang kakek tua. “Selamat sore, Kek!” “Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?” “Siapa nama
abangmu?” “Tare Iluh, Kek!” “Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah
bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak
salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.” “Benar, Kek! Saya juga pernah
mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada
sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu? “Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak
tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan
sesuatu.” “Apakah saran Kakek itu?” “Panjatlah sebuah pohon yang tinggi.
Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali
ia bisa mendengarnya.
Setelah
menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou,
tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian
memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera
bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon
kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya. Sudah
berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak
seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia
terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera
mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. “Ya, Tuhan!
Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan
air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan
penduduk negeri yang memasung abangku.” Baru saja kalimat permohonan itu lepas
dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi
mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang
menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi
pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai
minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap
rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah
kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara.
Hingga
kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru
Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman
dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau. Cerita di atas
termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral.
Di
antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat
tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka
bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou
yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela
mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat
dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya.
Hal
ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah
menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini
patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar